OPINI
Oleh: Alfansyah – Eks Menteri Pergerakan BEM UHO)
Kendari (1/7/25)-Dalam beberapa pekan terakhir, publik Sulawesi Tenggara, khususnya masyarakat Kabupaten Muna, digemparkan oleh serangkaian pernyataan dan aksi digital yang dilancarkan oleh Umar Bonte, salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Aksi tersebut muncul dalam bentuk video vlog, unggahan status sosial media, hingga komentar-komentar yang mengandung nada ancaman terhadap pemerintah daerah.
Sikap superioritas ini justru memunculkan pertanyaan besar: apakah Umar Bonte sedang menjalankan tugas sebagai anggota DPD, atau sedang membangun panggung politik pribadi dengan menunggangi isu-isu daerah?
Sebagai masyarakat, kita tentu tidak menolak kritik terhadap pemerintah daerah jika dilakukan dalam kerangka yang benar. Namun, ketika kritik dilakukan dengan nada merendahkan, diliput sendiri dalam vlog pribadi, dan disertai dengan penghinaan terhadap pihak-pihak yang tidak sepaham, maka ini bukan lagi pengawasan—ini adalah pembentukan citra untuk kepentingan politik jangka pendek.
Demokrasi membutuhkan check and balance—tetapi juga membutuhkan etika, batas, dan tanggung jawab. Umar Bonte seharusnya lebih memahami batas kewenangannya, dan jika ingin berperan lebih besar di daerah, ada jalur konstitusional yang bisa ditempuh—bukan dengan menciptakan drama di media sosial
Salah satu pernyataan Umar Bonte yang menuai kontroversi adalah:
“Dari temuan BPK banyak uang negara hilang. Pantas saja kita miskin, rakyat menderita, dan TPP pegawai negeri tidak dibayarkan. Saya minta pemerintah kembalikan sebelum saya viralkan.”
Pernyataan ini bukan hanya menyulut kegaduhan politik, tetapi juga mengaburkan pemahaman publik terhadap apa yang sebenarnya menjadi tugas dan batas kewenangan seorang anggota DPD. Bahkan, secara tidak langsung, ucapan ini mengarah pada tindakan intimidatif terhadap pemerintah daerah, dengan memanfaatkan kekuatan opini publik di media sosial sebagai alat tekan.
DPD Bukan Lembaga Eksekutif atau Penegak Hukum
Untuk meluruskan persepsi publik, kita perlu kembali ke dasar hukum. Sesuai Pasal 22D UUD 1945, dan dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), DPD memiliki fungsi terbatas, yaitu:
- Mengusulkan dan membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah, pengelolaan SDA dan SDM, serta hubungan pusat-daerah.
- Memberikan pertimbangan dan masukan kepada DPR RI dan Presiden dalam hal legislasi dan anggaran.
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang tertentu, dalam ruang lingkup yang menyangkut kepentingan daerah.
- Menyerap dan menyampaikan aspirasi masyarakat daerah kepada pemerintah pusat.
Namun yang harus digarisbawahi: DPD tidak punya kewenangan langsung dalam mengatur atau mengintervensi jalannya pemerintahan di daerah, apalagi sampai memberi tenggat atau “ancaman” kepada kepala daerah seperti yang dilakukan Umar Bonte. Fungsi pengawasan DPD bersifat umum dan konstitusional, bukan bersifat operasional teknis atau tekanan personal melalui media sosial.
Soal Jalan Rusak dan TPP: Aspirasi atau Sensasi?
Isu yang diangkat Umar Bonte bukan tidak relevan. Kita semua tahu bahwa kondisiinfrastruktur jalan di Kabupaten Muna memang memprihatinkan di beberapa titik. Keluhan pegawai negeri sipil soal TPP (Tunjangan Penghasilan Pegawai) yang belum dibayarkan juga merupakan masalah serius. Kritik terhadap dua hal ini sah-sah saja, dan bahkan penting untuk didorong sebagai isu prioritas daerah.
Namun, yang menjadi soal adalah cara penyampaian kritik itu sendiri. Ketika seorang anggota DPD tampil dalam vlog dengan nada sinis, menyalahkan langsung pemerintah daerah tanpa pendekatan struktural, dan menggunakan kalimat ancaman seperti “sebelum saya viralkan,” maka sesungguhnya dia tidak sedang menyelesaikan masalah—tetapi menciptakan kegaduhan politik baru yang kontra-produktif.
Lebih parah lagi, ketika publik atau tokoh lokal memberikan kritik balik atas sikap Umar Bonte, mereka kemudian dicap sebagai “penjilat.” Ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan gagal memahami makna demokrasi, di mana kritik adalah hak setiap warga negara, termasuk terhadap anggota DPD itu sendiri.
Objektivitas Harus Dijaga
Alfansyah, mantan Menteri Pergerakan BEM Universitas Halu Oleo (UHO), saya merasa terpanggil untuk memberikan komentar objektif. Saya tidak sedang membela Pemda Muna, dan saya juga tidak memusuhi Umar Bonte secara pribadi. Yang saya kritik adalah cara berpolitik yang keliru dan berpotensi menyesatkan publik.
Jika ada temuan BPK yang menunjukkan kejanggalan dalam keuangan daerah, maka jalur yang harus ditempuh adalah mendorong penegakan hukum secara resmi melalui aparat penegak hukum—baik Kejaksaan, Kepolisian, maupun KPK. Atau, jika merasa ada ketimpangan kebijakan, seorang anggota DPD bisa memanggil instansi pusat terkait dan mendesak peningkatan alokasi anggaran untuk infrastruktur Muna melalui jalur formal.
Sebaliknya, ancaman untuk “memviralkan” pejabat atau pemerintahan daerah seolah menjadikan jabatan DPD sebagai alat tekanan pribadi, bukan instrumen demokrasi yang beretika.
Solusi Bukan Sekadar Drama
Rakyat Kabupaten Muna tidak butuh drama politik. Mereka butuh jalan yang baik, pelayanan publik yang maksimal, dan kesejahteraan yang nyata. Jika seorang anggota DPD ingin membantu, maka gunakan jalur konstitusional: bantu percepat proses bantuan pusat, fasilitasi hubungan lintas kementerian, dorong pemerintah pusat untuk mendengar jeritan Muna.
Sebaliknya, jika hanya hadir saat kamera menyala dan mengancam lewat status sosial media, itu bukan pengabdian—itu panggung politik.
Sebagai wakil daerah di tingkat nasional, tugas utama seorang anggota DPD adalah menyuarakan aspirasi daerah di Senayan, bukan melakukan fungsi eksekutif atau legislatif lokal. Namun dalam beberapa kesempatan, Umar Bonte tampak seolah-olah menjadikan dirinya sebagai pengawas utama pemerintahan Kabupaten Muna. Ia turun langsung ke lapangan, membuat vlog-vlog penuh kritik, dan mengomentari berbagai kebijakan daerah seolah-olah ia adalah penguasa wilayah atau pejabat berwenang di tingkat lokal.
Kita butuh pemimpin yang menguatkan lembaga, bukan yang menyesatkannya. Kita butuh wakil daerah yang membangun jejaring untuk kepentingan rakyat, bukan yang menyulut konflik antar institusi. Dan kita butuh kritik yang membangun peradaban demokrasi, bukan yang menjadikan rakyat sebagai tameng ambisi pribadi.
Mari semua pihak, termasuk Umar Bonte, kembali ke jalur konstitusi dan etika berpolitik yang sehat. Kalau betul cinta daerah, maka bantu kami dengan cara yang benar.
