DITENGAH derasnya arus krisis sosial-ekonomi yang masih membelenggu rakyat, keputusan kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru menjadi ironi baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Kritik keras datang dari kalangan mahasiswa dan alumni di Sulawesi Tenggara, yang menilai kebijakan tersebut tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga memperlihatkan betapa jauh jarak antara gedung parlemen dan denyut nadi rakyat kecil.
Farid Fagi Maladi, S.AP, alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo, menegaskan bahwa kenaikan tunjangan DPR bukan lagi soal teknis anggaran, melainkan persoalan nurani.
“Kenaikan ini seakan mengukuhkan DPR sebagai menara gading yang semakin tinggi, sementara rakyat tetap dipaksa menunduk menanggung beban hidup. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi masalah etika politik,” ungkap Farid.
Farid menyoroti bahwa mahasiswa di Sulawesi Tenggara kini tengah menghadapi keterbatasan fasilitas pendidikan, biaya kuliah yang semakin tinggi, serta ketidakpastian lapangan kerja. Dalam kondisi ini, DPR justru lebih sibuk mengurus kesejahteraan internalnya daripada membahas kebijakan nyata yang menyentuh kepentingan generasi muda.
Menurutnya, ketidakjelasan arah politik DPR semakin memperlebar jurang kepercayaan publik.

Transparansi yang lemah, kinerja legislasi yang sering menuai kontroversi, dan minimnya keberpihakan pada kebijakan pro-rakyat membuat kenaikan tunjangan DPR sulit diterima akal sehat. Demokrasi tidak boleh hanya dipahami sebagai hak memilih lima tahun sekali, tetapi juga kewajiban wakil rakyat untuk hidup sederhana dan mendengar suara masyarakat.
Mahasiswa dan alumni di Sulawesi Tenggara harus terus berdiri di garis depan untuk mengawal demokrasi agar tidak berubah menjadi oligarki yang terselubung. Bagi Farid, kritik ini bukan sekadar perlawanan wacana, tetapi ajakan moral untuk mengembalikan politik ke fitrahnya yakni melayani rakyat.
“Jika DPR kehilangan empati, maka mahasiswa tidak boleh kehilangan daya kritis. Inilah saatnya generasi muda menegaskan bahwa suara rakyat bukan sekadar slogan kampanye, melainkan amanat yang harus diperjuangkan dengan hati nurani,” tutupnya.
(Penulis Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo Kendari)
