Oleh: Rezkhy Okriansyah Pratama, Ketua Umum Organisasi Indonesia Moronene

Sebagai Orang Moronene, saya merasa perlu menyampaikan kegelisahan yang mendalam terkait penetapan Rapa Dara sebagai motif khas Kabupaten Bombana. Keputusan ini bukan hanya keliru, tetapi juga menyimpan konsekuensi serius terhadap penghormatan kita pada sejarah dan identitas masyarakat adat Moronene sebagai suku asli Bombana.

Pertama, secara etimologi Rapa Dara berarti kepala kuda. Pertanyaannya sederhana: sejak kapan kuda menjadi bagian penting dari sejarah Moronene? Tidak ada catatan, tidak ada tradisi, tidak ada nilai kultural yang menempatkan kuda sebagai simbol identitas Moronene. Kalau hanya karena cerita bahwa raja Moronene dulu menggunakan kuda sebagai kendaraannya, semua kerajaan di Nusantara pun melakukan hal yang sama. Itu hal biasa, bukan sesuatu yang istimewa sehingga layak dijadikan simbol khas daerah.

Kedua, kebijakan ini mengaburkan warisan budaya Moronene yang sesungguhnya kaya dan beragam. Kita masih memiliki ragam seni ukir (Talulu) seperti Burisininta dan Bosu-bosu yang selama ini menjadi penanda otentik Bombana. Lebih menyakitkan lagi, pemerintah daerah tidak hanya mengangkat Rapa Dara sebagai motif baru, tetapi juga mengganti ukiran-ukiran Burisininta di berbagai bangunan resmi dengan Rapa Dara. Tindakan ini bukan sekadar keliru, melainkan bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap suku Moronene, sebab simbol asli kita dihapus dan diganti dengan sesuatu yang tidak memiliki makna dalam tradisi kita.

Ketiga, saya melihat keputusan ini sarat bias representasi. Alih-alih mengedepankan identitas masyarakat adat, pemerintah justru mengangkat simbol yang asing bagi orang Moronene. Hal ini berpotensi melahirkan konflik identitas, karena masyarakat adat pasti merasa terpinggirkan dan tidak dilibatkan dalam penentuan wajah resmi daerahnya.

Keempat, kalaupun ada alasan bahwa motif-motif seperti Burisininta, Bosu-bosu, atau Soronga sudah cukup dikenal sehingga perlu ada pengenalan motif baru, maka pertanyaannya: mengapa bukan motif lain yang benar-benar lahir dari akar budaya Moronene? Kita masih punya ukiran-ukiran khas lain seperti Buburi Ruruho Petumbu dan Sele-sele yang justru layak dipromosikan. Simbol-simbol ini bukan hanya otentik, tetapi juga memperluas pemahaman masyarakat terhadap kekayaan ragam budaya Moronene.

Lebih jauh, saya juga bertanya-tanya: mengapa para tokoh Moronene hari ini memilih diam? Apakah mereka takut posisinya terancam jika bersuara? Diamnya para tokoh hanya memperparah keadaan, sebab membiarkan kebijakan yang melemahkan identitas Moronene berjalan tanpa perlawanan.

Simbol bukan sekadar ornamen, melainkan lambang harga diri. Karena itu, saya menegaskan bahwa Bombana tidak kekurangan simbol. Kita punya Talulu, Burisininta, Bosu-bosu, Soronga, Buburi Ruruho Petumbu, Sele-sele, dan banyak warisan kultural lain yang jauh lebih layak diangkat. Pemda seharusnya merangkul tokoh adat dan budayawan untuk menggali simbol-simbol ini, bukan mengambil jalan pintas dengan memaksakan Rapa Dara.

Opini ini saya sampaikan bukan untuk menolak keberagaman budaya, melainkan untuk mengingatkan bahwa tanpa menghormati Moronene sebagai suku asli, Bombana sedang berjalan menuju krisis representasi identitasnya sendiri.**

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *