Oleh: La Ode Muh Syahrudin
(Menteri Advokasi dan Pergerakan BEM Universitas Halu Oleo)

Pembangunan Batalyon Infanteri (Yonif) di kawasan hutan lindung Warangga, Kabupaten Muna, memunculkan gelombang keprihatinan dari berbagai kalangan. Proyek yang tampak dijalankan dengan langkah tergesa ini bukan hanya menimbulkan pertanyaan tentang urgensinya, tetapi juga menyingkap persoalan lebih mendasar: sejauh mana pemerintah daerah memahami arti keberlanjutan dan tata kelola lingkungan yang baik?

Hutan Lindung Bukan Sekadar Lahan

Warangga bukan sekadar sebidang tanah kosong yang bisa dialihfungsikan sesuka hati. Ia adalah kawasan hutan lindung dengan fungsi vital bagi keseimbangan ekosistem — menjaga tata air, mencegah bencana ekologis, dan menopang kehidupan masyarakat sekitar yang bergantung pada sumber daya hutan.
Ketika wilayah semacam ini dijadikan lokasi pembangunan fisik tanpa kajian mendalam, maka sesungguhnya kita sedang menyiapkan bencana ekologis jangka panjang yang sulit diperbaiki.

Minim Transparansi, Lemahnya Partisipasi

Yang lebih mengkhawatirkan, proses penetapan lokasi pembangunan Yonif ini tampak jauh dari transparan. Tidak ada publikasi terbuka mengenai dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tidak ada konsultasi publik, dan tidak jelas sejauh mana masyarakat sekitar dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Padahal, pembangunan yang baik harus bertumpu pada keterbukaan informasi dan partisipasi warga. Tanpa itu, keputusan publik hanya akan menjadi proyek elit yang dipaksakan, bukan kebijakan yang lahir dari kebutuhan dan kesepakatan bersama.

Pemerintah Daerah Terjebak dalam Kebijakan Tergesa

Pemerintah Daerah Muna sejatinya memiliki tanggung jawab moral dan administratif untuk memastikan setiap langkah pembangunan tidak bertentangan dengan prinsip keberlanjutan. Namun, dalam kasus Warangga, tampak bahwa aspek ekologis seolah menjadi urusan nomor sekian.

Alih-alih memperhatikan dampak lingkungan, kebijakan ini tampak lebih bernuansa politis dan pragmatis. Jika pemerintah terlalu mudah mengorbankan hutan lindung atas nama pembangunan, maka yang sesungguhnya tergerus bukan hanya pepohonan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah itu sendiri.

Dampak Ekologis dan Sosial yang Tak Terhindarkan

Alih fungsi kawasan hutan lindung akan memicu serangkaian konsekuensi: risiko banjir meningkat, kualitas air menurun, habitat satwa endemik hilang, dan sumber penghidupan masyarakat terganggu.
Kerusakan ekologis ini tidak bisa diperbaiki hanya dengan menanam kembali beberapa pohon. Dampaknya bisa bertahan puluhan tahun, mempengaruhi generasi yang bahkan belum lahir.
Dengan demikian, manfaat jangka pendek dari pembangunan Yonif bisa jadi tidak sebanding dengan kerugian ekologis dan sosial yang akan ditanggung masyarakat Muna.

Menata Ulang Arah Pembangunan

Tak ada yang menolak pentingnya pembangunan pertahanan negara. Namun, pembangunan semestinya tidak menafikan hukum dan etika lingkungan. Keamanan nasional tidak boleh dibangun di atas kerusakan ekosistem lokal.
Pemerintah daerah bersama instansi terkait perlu meninjau ulang keputusan ini — menegakkan prosedur hukum, memastikan ada kajian lingkungan yang transparan, dan membuka ruang dialog dengan masyarakat sipil. Pendekatan yang inklusif dan berbasis keberlanjutan akan menjadi jalan tengah antara kebutuhan pertahanan dan kelestarian alam.

Penutup: Menyelamatkan Warangga, Menyelamatkan Masa Depan
Warangga bukan sekadar hutan; ia adalah ruang hidup, penyangga air, dan bagian dari identitas ekologis masyarakat Muna. Mengabaikan fungsinya berarti mengabaikan masa depan daerah ini.
Kami, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Halu Oleo, menyerukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Muna, lembaga lingkungan, dan seluruh komponen masyarakat untuk mengawal proses ini secara kritis dan konstruktif.

Selamatkan Warangga. Jaga hutan lindung. Demi Muna yang berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *