Pelecehan seksual bukan sekadar persoalan individu. Ini adalah masalah sistemik yang menyasar perempuan, anak-anak, bahkan laki-laki di berbagai ruang—baik ruang publik maupun domestik. Banyak dari kita masih beranggapan bahwa pelecehan hanya terjadi karena korban berpakaian terbuka, pulang malam, atau berperilaku menggoda. Narasi ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya. Karena pada kenyataannya, pelecehan seksual adalah bentuk kekerasan berbasis kuasa. Pelaku menggunakan situasi, posisi, bahkan status sosial untuk mengintimidasi, memanipulasi, dan merampas rasa aman korban. Pelecehan bukan hanya soal tindakan fisik, tapi juga ucapan, gestur, dan sikap yang melanggar batas pribadi seseorang. Namun ironisnya, dalam banyak kasus, korban justru harus menanggung rasa malu, ketakutan, bahkan cibiran dari lingkungan. Mereka seolah diminta diam, demi menjaga nama baik keluarga, institusi, atau tempat kerja.

Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah kuatnya budaya menyalahkan korban atau yang biasa disebut victim blaming. Korban ditanya, “Kenapa baru lapor?”, “Kenapa nggak melawan?”, atau “Pakai baju apa waktu itu?”. Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari budaya yang masih menempatkan beban moral di pundak korban, bukan pelaku.

Di banyak tempat, termasuk lingkungan pendidikan dan tempat ibadah, korban masih sering dianggap sebagai pembawa aib. Tak jarang, mereka didorong untuk menyelesaikan secara diam-diam, atau bahkan dinasihati untuk “memaafkan demi kebaikan bersama”. Padahal yang dibutuhkan korban bukan sekadar permintaan maaf, melainkan keadilan, pemulihan
psikologis, dan ruang aman untuk didengar.

Kasus kekerasan seksual di Sulawesi Tenggara masih terus terjadi, dan data menunjukkan bahwa masalah ini tidak bisa dianggap remeh. Berdasarkan laporan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), jumlah kasus kekerasan seksual di Sultra pada tahun 2021 tercatat sebanyak 18 kasus. Jumlah ini meningkat menjadi 23 kasus pada 2022, menunjukkan kenaikan sekitar 28 persen hanya dalam waktu satu tahun. Namun angka ini diyakini hanyalah “puncak gunung es”. Banyak korban yang memilih diam karena takut pada stigma, takut tidak dipercaya, atau karena tidak tahu harus mengadu ke mana. Apalagi di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, akses terhadap layanan pendampingan dan bantuan hukum sangat terbatas.

Kasus seperti Melki Sedek Huang, yang pernah ramai dibicarakan publik, menunjukkan betapa rumitnya posisi korban dalam menghadapi pelecehan seksual. Meski pelaku diproses hukum, korban justru sempat diragukan oleh sebagian masyarakat hanya karena pelaku memiliki citra yang baik di media sosial. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat masih lebih mudah bersimpati kepada pelaku yang populer, ketimbang mendengar suara korban yang menderita. Ini adalah refleksi dari sistem sosial yang lebih peduli pada nama baik dan citra, daripada keadilan dan empati.

Secara hukum, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 2022. Undang-undang ini merupakan tonggak penting dalam perlindungan korban. Namun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan. Di Sulawesi Tenggara, belum semua aparat hukum dan tenaga medis memiliki pelatihan yang memadai dalam menangani korban kekerasan seksual. Fasilitas rehabilitasi psikologis juga belum merata, dan proses hukum sering kali berlangsung lama. Bahkan pada tingkat pemerintah daerah, peraturan daerah (Perda) khusus tentang perlindungan korban kekerasan seksual belum secara menyeluruh diterapkan. Padahal perda bisa menjadi alat penting untuk memastikan layanan pendampingan, rehabilitasi, serta perlindungan hukum yang terintegrasi.

Perubahan tidak selalu datang dari sistem besar. Ia bisa dimulai dari lingkungan terkecil. Anak muda di Sulawesi Tenggara punya peran besar dalam mengubah cara pandang masyarakat. Mulai dari menghindari candaan seksis, menghargai batasan orang lain, membangun ruang diskusi yang aman, hingga mendukung korban yang berani bicara. Kita juga bisa mendorong kampus atau sekolah untuk menyediakan unit layanan pengaduan, memperluas edukasi tentang consent dan gender, serta mengajak media lokal untuk mengangkat kisah korban secara etis.

Melawan sunyi bukan sekadar soal bicara. Ini tentang menciptakan ruang aman untuk didengar, dipercaya, dan dilindungi. Setiap suara yang berani mengungkap luka adalah bentuk keberanian yang luar biasa. Tapi keberanian itu butuh dukungan, bukan keraguan. Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya pada hukum atau lembaga. Kita harus menjadi bagian dari budaya baru yang lebih adil, lebih peduli, dan lebih empatik. Karena pelecehan seksual bukan cuma soal perempuan atau anak-anak. Ini adalah soal kemanusiaan. Dan sebagai manusia, kita punya tanggung jawab untuk berdiri bersama mereka yang disakiti.

Suatu hari nanti, ketika ada seseorang berkata, “Aku dilecehkan,” dunia seharusnya tak lagi membungkamnya dengan curiga, melainkan merangkul dan berkata, “Kami percaya. Kami bersamamu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *