Oleh : Nakman, S.Pd
Sekum DPD HNSI SULTRA
Tindakan Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Pemprov Sultra) di Jakarta yang melaporkan mahasiswa ke polisi atas aksi penyampaian aspirasi adalah sebuah preseden buruk bagi demokrasi dan hak sipil di daerah ini. Alih-alih membuka dialog, pemerintah justru memilih jalur represif yang kontraproduktif dan mencerminkan ketidakdewasaan dalam mengelola aspirasi publik. Tindakan ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional yang dijamin oleh negara.
Aksi mahasiswa yang menuntut realisasi janji pembangunan asrama adalah bentuk kontrol sosial yang sah dan dilindungi undang-undang. Menanggapi aspirasi ini dengan laporan polisi, dengan alasan “penguasaan kantor” dan “perusakan aset,” adalah tindakan yang berlebihan dan tidak proporsional. Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap suara kritis yang seharusnya didengar dan dipertimbangkan.
Tindakan ini menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar:
- Apakah pemerintah daerah anti-kritik? Pelaporan ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah tidak siap menerima masukan atau tekanan dari masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa yang dikenal kritis dan idealis.
- Apakah ini bentuk penyalahgunaan wewenang? Kantor Penghubung seharusnya menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah daerah dan masyarakat Sultra di Jakarta, bukan alat untuk menekan dan mengintimidasi.
- Apakah ini sinyal kemunduran demokrasi? Tindakan ini mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa ruang demokrasi semakin sempit dan pemerintah lebih memilih pendekatan hukum daripada dialog.
Landasan Hukum yang Dilanggar
Tindakan kriminalisasi terhadap mahasiswa Sultra ini jelas bertentangan dengan sejumlah pasal dalam undang-undang yang menjamin hak-hak dasar warga negara:
- Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: Menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Aksi mahasiswa adalah wujud dari hak ini, dan pelaporan polisi adalah upaya untuk menghalang-halangi pelaksanaan hak tersebut.
- Pasal 28F UUD 1945: Menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pemerintah seharusnya memberikan informasi yang jelas mengenai alasan belum terealisasinya pembangunan asrama, bukan malah melaporkan mahasiswa ke polisi.
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum: Undang-undang ini secara jelas mengatur tata cara penyampaian pendapat di muka umum dan menjamin hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi secara damai. Pelaporan polisi mengindikasikan bahwa pemerintah daerah tidak menghormati undang-undang ini.
Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR): Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 19 ICCPR menjamin hak setiap orang untuk memiliki dan menyatakan pendapat tanpa campur tangan, serta hak untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan gagasan apapun, terlepas dari batas-batas wilayah.
Gubernur Sultra Andi Sumangerukka harus segera mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki situasi ini
- Minta maaf kepada publik: Permintaan maaf terbuka akan memulihkan kepercayaan publik yang telah terkikis akibat tindakan pelaporan ini.
- Realisasikan pembangunan asrama: Ini adalah tuntutan utama mahasiswa dan merupakan janji yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah.
- Buka ruang dialog: Pemerintah harus membuka diri untuk berdialog dengan mahasiswa dan elemen masyarakat sipil lainnya untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan daerah.
Ombudsman RI perlu turun tangan untuk melakukan investigasi atas dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang oleh Kantor Penghubung Pemprov Sultra. Tindakan pelaporan mahasiswa ke polisi jelas melampaui fungsi dan mandat pelayanan publik lembaga tersebut.
Kriminalisasi terhadap mahasiswa Sultra adalah kemunduran demokrasi dan pelanggaran hak sipil yang tidak dapat ditoleransi. Pemerintah daerah harus belajar untuk lebih dewasa dalam mengelola aspirasi publik dan menghormati hak kebebasan berpendapat, sebagaimana dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Jika tidak, ketegangan sosial akan semakin meningkat dan kepercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin menurun.