KENDARI ll KABENGGA.ID— Koalisi Aktivis Mahasiswa, Pemuda, dan Ormas Sulawesi Tenggara (KOMPAS Sultra) mengecam keras aktivitas pertambangan batu di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT. Hoffmen Energi Perkasa yang beroperasi di Desa Lamokula, Kecamatan Moramo Utara, Kabupaten Konawe Selatan. Aktivitas tambang tersebut diduga kuat tidak menerapkan sistem keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang memadai, sehingga menyebabkan insiden tragis yang merenggut nyawa seorang pekerja.
Seorang operator alat berat, Sandrio Febrian (21 tahun), tewas dalam insiden kerja setelah alat berat (excavator) pada jumat (18/7) yang dikemudikannya terjatuh dari ketinggian sekitar 30 meter. Insiden tersebut diduga terjadi akibat kelalaian perusahaan dalam menerapkan prinsip-prinsip K3 sebagaimana diatur dalam regulasi pertambangan nasional.
KOMPAS Sultra mendesak Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia, beserta aparat penegak hukum (APH), untuk segera memanggil dan memeriksa jajaran pimpinan PT. Hoffmen Energi Perkasa, termasuk Kepala Teknik Tambang (KTT), serta pemilik lahan tambang, Arifuddin. Mereka dianggap bertanggung jawab atas kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa pekerja muda tersebut.
Aldi Hidayat, dari Divisi Investigasi dan Pelaporan Tindak Pidana KOMPAS Sultra, menegaskan bahwa perusahaan tersebut diduga tidak hanya lalai dalam penerapan K3, namun juga tidak melaporkan insiden fatal tersebut kepada instansi ketenagakerjaan sebagaimana mestinya. Senin (21/7)
Senada dengan itu, Yongki Ardiansyah, dari Divisi Hukum dan Pelaporan KOMPAS Sultra, menyebut kematian Sandrio Febrian merupakan bukti nyata lemahnya pengawasan dan tidak berfungsinya sistem manajemen keselamatan kerja di lokasi tambang tersebut.
Ini bukan hanya musibah biasa, tapi peringatan keras atas gagalnya sistem K3. Kalau dibiarkan terus, wilayah tambang ini bisa jadi ladang kematian, bukan ladang industri,” tegas Yongki.
Yongki juga mendesak agar seluruh aktivitas tambang batu di WIUP PT. Hoffmen Energi Perkasa dihentikan sementara, hingga dilakukan investigasi menyeluruh oleh pihak berwenang dan sistem K3 betul-betul diterapkan secara konsisten.
Ia pun menuntut agar pihak perusahaan memberikan kompensasi penuh dan transparan kepada keluarga korban, serta mendesak negara agar tidak membiarkan kelalaian seperti ini berlalu tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Yongki menambahkan, setiap kematian pekerja di lokasi kerja adalah kegagalan sistemik bukan hanya kegagalan perusahaan, tetapi juga negara yang tidak tegas.
Setiap nyawa pekerja yang melayang adalah cermin kegagalan kita semua. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hingga PP No. 50 Tahun 2012 tentang SMK3, sudah sangat jelas mengatur sanksi pidana maupun administratif bagi perusahaan yang lalai. Kalau ini dibiarkan, hukum kita kehilangan wibawa,” pungkasnya.
Ia juga menyoroti ancaman sanksi bagi perusahaan yang melanggar mulai dari pembatasan usaha, pencabutan izin, hingga denda maksimal Rp500 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 190 UU Ketenagakerjaan.
Jika perusahaan tidak patuh dan negara diam, maka jangan salahkan publik jika kami turun aksi besar-besaran memblokade aktivitas tambang,” ancam Yongki tegas.
Sementara itu, Andri Togala, dari Divisi Kepekaan Sosial dan Lingkungan KOMPAS Sultra, meminta perusahaan bertanggung jawab penuh terhadap insiden tersebut, terlepas dari proses investigasi yang masih berlangsung.
Walaupun hasil investigasi kepolisian belum keluar, perusahaan tetap wajib bertanggung jawab penuh terhadap korban. Ini bukan sekadar kecelakaan kerja, tapi karena kelalaian dalam menjalankan SOP kerja,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan seluruh perusahaan tambang di Moramo dan Moramo Utara untuk menjadikan insiden ini sebagai pelajaran penting agar tidak terulang kembali kejadian serupa.
“Perusahaan tidak bisa lepas tangan. Mereka harus memastikan standar operasional kerja dijalankan dengan benar demi keselamatan karyawan,” tegas Andri.
KOMPAS Sultra juga menyatakan akan mendatangi Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mempertanyakan laporan resmi insiden tersebut dan sekaligus mengadvokasi penegakan K3 di perusahaan-perusahaan tambang lainnya.
Kami yakin, tanpa tekanan publik, hukum seringkali tumpul ke atas. Maka, jika perlu, kami akan lakukan aksi unjuk rasa. Karena saat ini, No Viral No Justice,“ tutup Andri.
Hingga rilis ini diterbitkan, pihak PT. Hoffmen Energi Perkasa maupun pemilik lahan Arifuddin belum berhasil dikonfirmasi. Namun, media ini tetap memberikan ruang hak jawab apabila mereka bersedia memberikan keterangan resmi di kemudian hari.(redaksi).