Jakarta, 30 Juli 2025 — Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) menolak klaim Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan pada Maret 2025. Dalam siaran pers resmi yang dirilis pada Selasa (29/7), KSP-PB menilai data BPS tidak merepresentasikan kondisi riil masyarakat dan buruh di lapangan.
“Pernyataan BPS yang menyebutkan kemiskinan menurun adalah bias, tidak mencerminkan kenyataan, dan lebih bernuansa politis,” demikian bunyi pernyataan KSP-PB yang merupakan gabungan dari 4 konfederasi serikat pekerja, 63 federasi nasional, 9 organisasi kerakyatan, serta Partai Buruh yang tersebar di 38 provinsi.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI, Said Iqbal, menyoroti metodologi yang digunakan BPS. Menurutnya, BPS masih mengacu pada parameter negara berpenghasilan rendah, sementara status Indonesia telah naik menjadi negara berpenghasilan menengah atas menurut lembaga internasional.
“BPS masih menggunakan ambang batas kemiskinan sekitar USD 2,5 PPP per hari. Akibatnya, angka kemiskinan yang dilaporkan hanya 8,57 persen atau sekitar 24 juta orang. Padahal, jika menggunakan ambang USD 5 PPP per hari — sekitar Rp 756 ribu per bulan — jumlah penduduk miskin bisa mencapai 68 juta orang,” ujar Iqbal.
Bahkan, menurut perhitungan berbasis ambang USD 6,85 PPP yang digunakan Bank Dunia untuk negara berpendapatan menengah atas, maka angka kemiskinan Indonesia bisa menyentuh 68 persen populasi atau sekitar 190 juta jiwa. “Angka yang sangat berbeda jauh dari klaim resmi pemerintah,” imbuhnya.
KSP-PB juga menyoroti gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang semakin masif sebagai indikator memburuknya kondisi ekonomi buruh. Litbang KSP-PB mencatat sekitar 70 ribu buruh telah di-PHK hanya dalam periode Januari hingga April 2025. “Aneh jika angka kemiskinan diklaim menurun saat jumlah PHK justru meningkat tajam,” tegas mereka.
Sebelumnya, BPS merilis data bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2025 turun menjadi 8,47 persen, setara dengan 23,85 juta jiwa. Rata-rata garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, atau Rp 2,87 juta untuk satu rumah tangga dengan anggota 4–5 orang.
Menanggapi kritik tersebut, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menjelaskan bahwa penghitungan BPS masih menggunakan PPP 2017, sejalan dengan acuan RPJMN 2025–2029 untuk menjaga konsistensi kebijakan. Meski demikian, ia mengklaim bahwa metode deflator spasial yang digunakan sudah disesuaikan dengan standar terbaru Bank Dunia.
Menurut Ateng, perbedaan mendasar terletak pada garis kemiskinan yang digunakan. “Bank Dunia memakai standar USD 6,85 PPP untuk negara seperti Indonesia, sedangkan BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, yang mencakup pengeluaran minimum untuk makanan dan non-makanan,” jelasnya.
Meski sama-sama menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), perbedaan pendekatan dan acuan PPP menyebabkan hasil akhir yang berbeda antara BPS dan Bank Dunia.( * * ).