Oleh : Ustadz Ajie Najmuddin (Pengurus MWCNU Banyudono Boyolali)
Dikisahkan pada zaman dahulu, terdapat seorang Nabi bernama Jurjis Alaihissalam. Sebagaimana dikisahkan dalam kitab Al Azwadul Musthofawiyah karya KH Bisri Musthofa Rembang. Kisah Nabi Jurjis ini menjadi penguat keterangan dari sebuah hadits:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيّاً فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ
Artinya, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang menyakiti kekasih-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya’.” (HR Bukhari)
Pada suatu ketika, cobaan datang menimpa negeri tempat Nabi Jurjis tinggal. Negara tersebut mengalami masa paceklik yang hebat, yang berakibat kekurangan pangan. Hal tersebut diperparah dengan hujan yang juga telah lama tak kunjung turun, hingga banyak penduduk yang mati karena kelaparan dan kehausan.
Sang raja kemudian pergi dengan dikawal sejumlah tentara menuju ke kediaman Nabi Jurjis. Kepada Nabi Jurjis, ia memohon agar Nabi Jurjis meminta kepada Allah, agar segera menurunkan hujan.
“Kalau tidak segera menurunkan hujan, Tuhanmu akan aku perangi dengan kekuatan tentara yang dahsyat!” ucap sang raja.
Nabi Jurjis, kemudian masuk ke bangunan tempat ia biasa beribadah, untuk memohon kepada Allah. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa tak bisa bersuara, karena rasa takutnya kepada Allah. Kemudian, tak lama berselang, Malaikat Jibril hadir kemudian menanyakan keperluan Nabi Jurjis:
“Sebetulnya saya ingin menyampaikan permohonan, tapi saya takut, karena saya rasa tidak pantas/sopan,” jawab Nabi Jurjis.
“Katakanlah apa adanya, yang ingin engkau sampaikan,” kata Malaikat Jibril.
Kemudian, Nabi Jurjis menceritakan perihal pesan dari sang raja, untuk meminta Allah agar segera menurunkan hujan dan apabila tidak segera dituruti, akan ditabuh genderang perang.
“Coba kamu tanyakan kepada raja, bagaimana caranya memerangi Allah?” tanya Malaikat Jibril.
Nabi Jurjis kemudian keluar dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada raja.
“Cara berperang hanya satu. Karena saya ini lemah dan Tuhanmu itu kuat. Maka, pastilah aku akan kalah. Tapi dengan cara aku menyakiti atau membuat sengsara kekasih-Nya,” jawab raja.
Belum juga Nabi Jurjis menjawab, Malaikat Jibril ternyata sudah hadir dan mengatakan kepada Nabi Jurjis:
“Katakan kepada raja, agar ia mengurungkan niatnya, jangan sampai ia menyakiti kekasih-Nya. Allah sanggup menurunkan hujan serta sandang pangan,” kata Malaikat Jibril.
Pada akhirnya, tiga hari setelah kejadian tersebut, tak nampak lagi paceklik dan kekeringan di negara tersebut. Telaga telah dipenuhi air yang berlimpah. Tanaman-tanaman telah tumbuh menghijau.
Melihat negerinya menjadi makmur, raja kembali mendatangi kediaman Nabi Jurjis. Melihat kedatangan sang raja, Jurjis pun berkata ada gerangan apa lagi ia datang.
“Mau apa lagi Anda datang ke sini? Jangan buat saya repot terus,” kata Nabi Jurjis.
“Saya datang ke sini, tidak ingin membuat Anda susah. Tapi hanya ingin mengucap sebuah persaksian, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan tidak ada yang berhak disembah dengan benar selain Dia.”
Kisah Nabi Jurjis Alaihissalam mengandung hikmah mendalam tentang keimanan, kesabaran, dan kekuasaan Allah. Ketika paceklik melanda negeri dan raja dengan sombong mengancam akan memerangi Allah, Nabi Jurjis menunjukkan ketundukan dan rasa takut yang tulus kepada Allah. Ia tidak tergesa meminta, melainkan merenung, dan mengakui keagungan Allah.
Hikmah ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi cobaan, seorang hamba harus tetap menjaga akhlak dan keimanan, serta memohon dengan rendah hati, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Kuasa.
Kisah di atas juga memberikan pelajaran kesabaran dan keimanan yang relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Di tengah tantangan seperti bencana alam atau krisis ekonomi, sikap Nabi Jurjis yang tetap tawakal dan memohon dengan adab mengajarkan kita untuk tidak putus asa.
Masyarakat Indonesia dapat mengambil inspirasi untuk menghadapi kesulitan dengan solidaritas, seperti semangat gotong royong, sambil terus berdoa agar diberi jalan keluar.
Hikmah lain adalah pentingnya menghormati orang-orang saleh dan tokoh agama. Ancaman raja terhadap Nabi Jurjis mencerminkan bahaya merendahkan mereka yang menjaga nilai kebaikan.
Di Indonesia, yang kaya akan keragaman budaya dan agama, kisah ini mengingatkan kita untuk menjaga harmoni dengan menghargai peran ulama dan pemuka agama, sehingga tercipta kedamaian sosial.
Kisah ini juga menyoroti kebijaksanaan pemimpin dalam mengelola krisis. Sikap arogan raja berubah menjadi rendah hati setelah melihat rahmat Allah. Di Indonesia, para pemimpin dapat belajar untuk menangani problem kenegaraan dengan solusi yang inklusif, mendengarkan aspirasi rakyat, dan menghindari tindakan yang memicu konflik. Wallahu a’lam.
[Sumber: Artikel Kisah Hikmah NU Online]/Kabengga.id