KENDARI — KABENGGA.ID. ll Satu lagi nyawa melayang di balik jeruji besi. Seorang tahanan kasus narkoba berinisial LI ditemukan tewas di dalam ruang tahanan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Tenggara. Namun, alih-alih tenang dengan alasan “bunuh diri”, publik justru mencium aroma busuk—aroma yang menandakan ada sesuatu yang disembunyikan.
Ketua Komisi III DPRD Kendari, La Ode Ashar, mengaku geram. Dari hasil penelusurannya, terlalu banyak kejanggalan yang tak bisa ditelan begitu saja. Foto-foto jenazah LI menunjukkan bekas ikatan di tengah leher—sesuatu yang tidak masuk akal jika disebut gantung diri. “Bagaimana mungkin seseorang gantung diri dengan ikatan di tengah leher? Apalagi pakai celana jeans. Apa jeans sekarang bisa jadi tali?” sindirnya pedas.
Dugaan kematian tak wajar ini makin kuat ketika diketahui tangan korban dalam kondisi terikat saat divisum. “Saya lihat sendiri, tangannya masih terikat. Ini bukan kematian biasa,” tegas Ashar. Ironisnya, di institusi yang seharusnya menegakkan hukum dan menyelamatkan generasi dari narkoba, justru muncul dugaan pelanggaran kemanusiaan.
Lebih menggelikan lagi, CCTV di kantor BNNP Sultra ternyata sudah mati selama setahun penuh. Mati sejak November 2024, dan entah mengapa dibiarkan begitu saja. Kebetulan? Rasanya terlalu manis untuk disebut kebetulan. “CCTV mati pas ada tahanan meninggal? Jangan-jangan bukan cuma CCTV yang mati—tetapi juga nurani,” ujar salah satu anggota dewan dengan nada sinis.
BNNP Sultra tentu punya pembelaan. Lewat pernyataan Kabid Brantas, Kombes Pol. Alam Kusuma, pihaknya bersikukuh bahwa LI bunuh diri. Alasannya klasik: tanda-tanda fisik seperti cairan dari kemaluan dan keluarnya feses. Tapi publik bukan anak kecil yang bisa ditakut-takuti dengan istilah medis. “Tanda fisik” bukan bukti mutlak tanpa pemeriksaan forensik yang transparan.
DPRD Kendari pun tidak tinggal diam. Komisi III berencana mengeluarkan surat rekomendasi resmi untuk meminta pertanggungjawaban BNNP Sultra dan mendesak digelarnya gelar perkara terbuka. Ashar memastikan, kasus ini akan dikawal hingga ke akar-akarnya. “Kami tidak akan diam. Kalau ada yang bermain di balik kematian ini, kami pastikan semua akan terbuka,” ujarnya lantang.
Publik tentu masih menunggu langkah konkret DPRD. Tapi satu hal jelas: kematian LI bukan sekadar tragedi pribadi. Ini adalah cermin gelap lembaga yang seharusnya menegakkan keadilan. Ketika tahanan mati di tangan aparat, lalu kasusnya dibungkus dengan narasi “bunuh diri”, maka kita sedang menyaksikan bentuk lain dari kekerasan yang disamarkan.
Dan pertanyaan paling tajam masih menggantung di udara: siapa yang sebenarnya “mengakhiri” hidup LI — dirinya sendiri, atau sistem yang busuk di balik seragam penegak hukum?**
