Kendari kabengga id-Desa Laea, Bombana – Rencana operasi tambang pasir kuarsa oleh PT. Bukit Silika Bombana memicu penolakan dari sejumlah warga Desa Laea, Kecamatan Poleang Tenggara, Kabupaten Bombana. Penolakan ini mengemuka usai konsultasi publik yang digelar perusahaan di Balai Desa Laea pada Kamis, 17 April 2025.

Ketua Himpunan Pelajar Mahasiswa Poleang Raya (HIPMAP) Kendari, Andi Makkatajangi, menegaskan bahwa rencana aktivitas tambang tersebut bukan hanya mengancam keberlanjutan lingkungan, tapi juga menginjak-injak masa depan masyarakat lokal yang bergantung pada alam untuk bertahan hidup.

“Kami menilai aktivitas tambang PT. Bukit Silika Bombana adalah bentuk nyata ancaman ekologis dan sosial bagi masyarakat Desa Laea. Jangan hanya karena atas nama investasi, masyarakat harus dikorbankan. Ini tanah mereka, hidup mereka, bukan sekadar lokasi proyek,” tegas Andi Makkatajangi.

Menurutnya, area rencana tambang berada sangat dekat dengan kawasan penggembalaan ternak warga di Bukit Teletabis dan Bukit Cadat Abis. Hauling kendaraan tambang yang akan keluar-masuk ke jety dinilai berpotensi besar membahayakan ternak, memicu kecelakaan, serta merusak jalur dan ruang hidup masyarakat.

“Peternakan dan pertanian adalah jantung ekonomi warga Laea. Kalau diganggu oleh tambang, maka bukan hanya lingkungan yang rusak, tapi dapur warga juga ikut mati,” ujarnya.

HIPMAP juga menyoroti potensi kerusakan habitat pesisir akibat pembangunan jety tambang. Andi menyebut, budidaya rumput laut yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat pesisir terancam akibat pencemaran, getaran alat berat, dan perubahan arus laut.

Tak hanya itu, kehadiran tambang juga dinilai berpotensi merusak kawasan wisata alam Bukit Teletabis yang sudah dikenal luas sebagai ikon desa. “Kalau rusak karena tambang, apa yang tersisa untuk generasi muda Laea nanti? Masa depan bukan cuma soal tambang, tapi soal tanah, air, dan alam yang lestari,” tegas Andi.

HIPMAP Kendari menyayangkan bahwa kegiatan konsultasi publik tersebut justru tidak dihadiri oleh unsur Badan Permusyawaratan Desa (BPD), yang semestinya menjadi perwakilan resmi masyarakat desa. Ketidakhadiran ini memperkuat kesan bahwa kegiatan tersebut hanyalah formalitas administratif belaka, bukan forum yang sungguh-sungguh membuka ruang bagi suara rakyat.

Andi juga mengajak pemuda dan mahasiswa asal Poleang Raya untuk tidak diam terhadap isu ini. “Pemuda harus berdiri di garda depan perjuangan. Jangan tunggu alam rusak dulu baru menyesal. Ini waktunya kita bersatu menjaga kampung halaman.”

HIPMAP Kendari mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera meninjau ulang rencana pertambangan ini. “Jangan biarkan rakyat dikorbankan demi kepentingan korporasi. Hentikan tambang sebelum semuanya terlambat,” tutup Andi.(Red).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *