Kendari – Dugaan praktik jual beli seragam sekolah kembali menyeruak dan menjadi sorotan tajam publik Sulawesi Tenggara.
Di tengah kian beratnya beban ekonomi masyarakat, muncul indikasi adanya pungutan liar (pungli) berkedok pengadaan seragam yang diduga dilakukan oleh oknum guru dan pihak sekolah di berbagai jenjang pendidikan.
Dewan Pembina Lembaga Aliansi Pemuda dan Pelajar (AP2) Sultra, La Ode Hasanuddin Kansi, angkat bicara. Ia mendesak Gubernur Sultra dan Wali Kota Kendari untuk segera turun tangan dan menindak tegas para pelaku praktik yang ia sebut sebagai bisnis haram yang telah meracuni dunia pendidikan.
“Fenomena ini bukan hal baru. Setiap tahun ajaran baru, hampir bisa dipastikan ada praktik serupa. Oknum guru dan pihak sekolah menjadikan seragam sebagai ladang keuntungan pribadi, dengan mewajibkan siswa membeli di tempat yang mereka tunjuk,” ujar Hasanuddin saat konferensi pers, Minggu (6/7).
Ia menyebut praktik tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun dan dilakukan secara sistematis, tanpa ada penindakan yang jelas dari pihak berwenang.
La Ode Hasanuddin menilai, kewajiban membeli seragam di tempat tertentu bukan hanya mencederai prinsip keadilan dalam pendidikan, tetapi juga menambah beban ekonomi orang tua siswa terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.
“Tidak sedikit orang tua terpaksa berutang demi memenuhi paket seragam yang nilainya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Ini pemaksaan ekonomi yang sangat tidak manusiawi, apalagi jika harganya jauh di atas pasar tanpa transparansi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menyebut praktik ini sebagai bentuk gratifikasi terselubung yang telah lama dibiarkan hidup dalam sistem pendidikan.

AP2 Sultra meminta langkah konkret dari gubernur dan wali kota, mulai dari pembentukan tim independen untuk mengaudit pola kerja sama sekolah dengan penyedia seragam, hingga keterlibatan aparat penegak hukum untuk menyelidiki dugaan gratifikasi dan korupsi.
“Jangan lagi ada pembiaran. Kami siap memberikan data dan bukti awal. Jangan sampai Dinas Pendidikan justru menjadi tameng bagi para pelaku,” tegas Hasanuddin.
Desakan ini datang seiring dengan meningkatnya kecemasan masyarakat terhadap biaya pendidikan yang makin mencekik.
Lembaga swadaya masyarakat, aktivis pendidikan, hingga tokoh masyarakat menyerukan regulasi tegas yang melarang segala bentuk praktik bisnis di lingkungan sekolah.
“Kita ingin pendidikan bersih dari aroma bisnis. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus menunjukkan keberpihakan mereka kepada rakyat, bukan kepada kepentingan segelintir orang,” pungkasnya.(redaksi)