MUNA BARAT – KABENGGA.ID || Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Sulawesi Tenggara kembali mengungkap temuan mengejutkan. Sebanyak 15 paket proyek pembangunan jalan dan jembatan yang dikelola Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Muna Barat diduga mengalami kekurangan volume pekerjaan senilai Rp3.314.890.100,24 pada tahun anggaran 2023.

Menanggapi hal tersebut, Ketua BEM Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo (UHO) yang juga merupakan putra daerah Muna Barat, menyampaikan kecaman keras. Ia menyebut temuan BPK itu sebagai bentuk nyata penyalahgunaan keuangan negara yang tidak bisa ditoleransi.

“Ini sangat merugikan daerah. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat justru terindikasi disalahgunakan. Saya mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) segera mengambil tindakan tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat,” ujarnya.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti kondisi fisik sejumlah ruas jalan hasil pembangunan proyek tersebut. Menurutnya, meskipun baru dikerjakan kurang lebih 19 bulan, banyak ruas jalan sudah mengalami kerusakan parah, mulai dari kebocoran kecil hingga besar, serta lubang yang menjadi kubangan saat musim hujan.

“Informasi yang kami terima dari masyarakat maupun media sosial menunjukkan bahwa ada jalan yang baru dibangun satu bulan, tapi sudah rusak. Ini sangat memprihatinkan, apalagi anggaran yang digunakan sangat besar. Ini jelas tidak hanya merugikan negara, tetapi juga membahayakan keselamatan pengguna jalan,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya infrastruktur yang berkualitas untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di daerah. Menurutnya, pemerintah Muna Barat yang baru harus menjadikan perbaikan infrastruktur sebagai fokus utama, sekaligus memastikan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.

Infrastruktur adalah fondasi utama dalam pembangunan. Jika kualitasnya buruk karena korupsi atau kelalaian, maka yang dirugikan adalah masyarakat luas,” tegasnya.

Dari aspek hukum, kekurangan volume pekerjaan dalam proyek tersebut juga dianggap telah melanggar sejumlah ketentuan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang telah diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021.

Perpres tersebut secara tegas menyatakan bahwa pengadaan harus menghindari pemborosan dan kebocoran keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f. Selain itu, Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa penyedia bertanggung jawab penuh atas kualitas, volume, dan pelaksanaan kontrak, sementara Pasal 27 ayat (6) menekankan bahwa pembayaran kontrak dilakukan berdasarkan realisasi volume hasil pengukuran bersama.

Jika terjadi penyimpangan, Pasal 78 ayat (3) Perpres tersebut mengatur bahwa penyedia dapat dikenakan sanksi administratif. Dengan demikian, temuan BPK ini membuka peluang bagi penyelidikan hukum yang lebih dalam.

Ketua BEM FKIP UHO pun menilai bahwa lemahnya pengawasan menjadi akar persoalan dalam proyek-proyek tersebut. Ia mendesak agar pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur ke depan dilakukan secara ketat, transparan, dan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat.

“Sudah saatnya pengawasan diperketat. Kami juga meminta Inspektorat dan APH untuk menyelidiki lebih lanjut serta mengambil tindakan tegas terhadap seluruh pihak yang terlibat. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan publik,” tutupnya.

Hingga Berita Ini Terbit, Tim Media ini Selalu Berupaya Untuk Melakukan Konfirmasi Kepada Pihak-Pihak Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *