Jakarta — Kabengga.id ll Asosiasi Penambang Tanah Pertiwi (ASPETI) mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) untuk segera menindaklanjuti dugaan pelanggaran Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) oleh PT Toshida Indonesia,
Tidak hanya itu, ASPETI juga menyoroti persoalan administratif dan batas wilayah hukum perizinan tambang yang hingga kini belum diselesaikan sejak pemekaran daerah kabupaten Koltim
Ketua Bidang Advokasi Tambang, Muhammad Rizal Zulkarnain menjelaskan bahwa IPPKH PT Toshida Indonesia diterbitkan pada tahun 2009, saat wilayah kegiatan tambang tersebut masih berada dalam administrasi Kabupaten Kolaka.
Setelah terbentuknya Kabupaten Kolaka Timur, lanjut Rizal, status administratif izin tersebut tidak pernah diperbarui atau disesuaikan dengan pembagian wilayah pemerintahan yang baru.
Bahkan hingga saat ini, kata Rizal, seluruh dokumen perizinan PT Toshida Indonesia — mulai dari SK IUP, dokumen AMDAL, hingga permohonan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) tahun 2023 — masih tercatat dan ditandatangani di Kabupaten Kolaka, bukan di Kolaka Timur.
“Ini persoalan serius yang menunjukkan ketimpangan administrasi. IPPKH Toshida keluar tahun 2009 saat masih Kolaka, dan hingga kini seluruh perizinan, termasuk SK IUP, dokumen AMDAL, serta RKAB 2023, masih berstatus di Kolaka. Padahal kegiatan tambangnya sepenuhnya berada di Kolaka Timur. KLHK dan Pemda Koltim harus segera menertibkan hal ini,” tegas Rizal di Jakarta, Sabtu (25/10).
ASPETI menegaskan bahwa masa berlaku IPPKH hanya lima tahun, artinya izin yang diterbitkan tahun 2009 seharusnya telah berakhir pada 2014. Namun hingga kini tidak ada keputusan resmi perpanjangan IPPKH dari KLHK, sementara kegiatan tambang PT Toshida masih terus berlangsung. Hal ini menurut ASPETI menunjukkan adanya kelalaian pengawasan dan kekosongan hukum administrasi.
“Aktivitas tambang tetap berjalan tanpa kejelasan perpanjangan izin. Ini menimbulkan pertanyaan besar terhadap mekanisme pengawasan kehutanan dan kepatuhan lingkungan,” ujarnya.
ASPETI juga menyoroti dokumen resmi dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kolaka yang dikeluarkan pada 30 Maret 2023.
Dalam surat tersebut, DLH Kolaka menyatakan bahwa dokumen AMDAL PT Toshida Indonesia masih berlaku hingga Oktober 2027 berdasarkan SK Kelayakan Lingkungan Nomor 256 Tahun 2007.
Namun, dalam surat yang sama juga ditegaskan bahwa PT Toshida tidak pernah melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, serta tidak melaporkan pelaksanaannya kepada DLH Kolaka.
“Fakta bahwa surat keterangan AMDAL PT Toshida dikeluarkan oleh DLH Kolaka pada tahun 2023 memperjelas bahwa seluruh perizinan perusahaan ini masih berstatus di Kolaka. Hal ini membuktikan bahwa Pemda Kolaka Timur belum memiliki posisi administratif terhadap izin tersebut,” jelas Rizal.
ASPETI menambahkan bahwa wilayah kegiatan tambang PT Toshida mencakup dua kawasan hutan negara, yaitu:
Hutan Produksi (HP) seluas 2.601,8 hektare, dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2.292,97 hektare.
Kedua kawasan ini memiliki fungsi ekologis penting dan hanya dapat dimanfaatkan melalui izin resmi dari KLHK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Kawasan hutan yang digunakan PT Toshida sangat luas dan memiliki nilai ekologis strategis. Audit IPPKH harus dilakukan secara terbuka untuk memastikan kepatuhan terhadap izin, tanggung jawab lingkungan, serta perlindungan fungsi hutan,” tegas Rizal.
ASPETI juga menemukan bahwa sejak izin IPPKH keluar tahun 2009, PT Toshida tidak pernah melaksanakan kewajiban lingkungan seperti reklamasi pascatambang, rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), dan pemulihan fungsi kawasan hutan. Kondisi ini menunjukkan kelalaian perusahaan dan lemahnya pengawasan dari pemerintah pusat maupun daerah.
“Selama lebih dari 15 tahun, tidak ada laporan reklamasi atau rehabilitasi DAS. Kewajiban lingkungan yang diatur dalam izin tidak dilaksanakan, dan pemerintah seolah menutup mata,” ujarnya.
ASPETI juga mengingatkan Pemerintah Daerah Kolaka Timur agar tidak mendahulukan tuntutan Dana Bagi Hasil (DBH) dari kegiatan tambang PT Toshida sebelum penetapan tapal batas wilayah dan administrasi perizinan diselesaikan secara resmi.
Menurut ASPETI, langkah tersebut penting agar setiap kebijakan fiskal daerah memiliki dasar hukum yang kuat dan terukur.
“Pemda Koltim harus lebih dahulu menegaskan batas wilayah dan status hukum izin sebelum bicara soal DBH. Ini menyangkut kredibilitas tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas publik,” tegas Rizal.
ASPETI menilai, permasalahan PT Toshida adalah cermin lemahnya koordinasi antar-instansi dan ketidaktegasan pemerintah daerah pascapemekaran wilayah.
Oleh karena itu, ASPETI mendesak KLHK melakukan audit IPPKH PT Toshida Indonesia secara menyeluruh dan terbuka, mencakup:
Keabsahan seluruh dokumen perizinan yang masih tercatat di Kolaka, Kesesuaian lokasi tambang dengan batas administrasi wilayah Kolaka Timur, dan Pemenuhan kewajiban lingkungan oleh perusahaan.
“Audit ini harus dilakukan secara independen dan terbuka. Hasilnya perlu dipublikasikan agar publik mengetahui sejauh mana tanggung jawab pemerintah dan perusahaan terhadap lingkungan,” tambah Rizal.
Menutup pernyataannya, ASPETI meminta Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, untuk memberikan perhatian langsung terhadap persoalan ini, sebagai wujud komitmen pemerintah dalam penegakan hukum, transparansi perizinan, dan tata kelola lingkungan di sektor kehutanan dan pertambangan./MM.
