Kendari – Kabengga.id ll Pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara yang membahas pembentukan produk hukum daerah disambut dengan aksi demonstrasi sebagai bentuk pengingat keras agar agenda tersebut tidak berhenti pada seremonial penuh retorika.

La Ode Muhamad Barton Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, menegaskan bahwa Rakornas ini harus menjadi forum yang melahirkan produk hukum daerah yang berpihak pada rakyat, bukan sekadar tameng kepentingan politik dan legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan.

Sulawesi Tenggara hari ini tengah dikepung oleh produk hukum yang tumpang tindih membingungkan dan pada praktiknya hanya memperkuat dominasi elit serta korporasi. Masyarakat kecil justru menjadi korban. Bahkan dalam konteks pertambangan pemerintah daerah seakan lebih sibuk menjadi “juru bicara perusahaan” daripada pelindung masyarakatnya sendiri.

Lihatlah bagaimana pulau kecil seperti Wawonii dan Kabaena yang secara hukum tidak boleh dijadikan arena pertambangan, tetap saja diserobot oleh korporasi tambang dengan alasan investasi. Apakah ini yang disebut produk hukum berpihak kepada rakyat atau sekadar “surat izin penderitaan” bagi masyarakat lokal?

Lebih dari itu Perda tentang pajak dan retribusi yang disahkan di Sultra juga patut dipertanyakan. Jika tidak ada kontrol dan pengawasan yang ketat Perda tersebut hanya akan menjelma menjadi alat pungutan liar yang membebani rakyat sementara hasilnya tidak pernah benar-benar kembali untuk kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai pemerintah daerah menjadikan hukum sebagai mesin pemerasan yang dilegalkan.

Kami juga menyoroti penggunaan anggaran untuk Rakornas ini. Di tengah wacana efisiensi dan kondisi keuangan negara yang ketat, apakah pantas bila Rakornas hanya berakhir sebagai panggung pencitraan birokrasi? Apakah cukup sekadar pidato manis tanpa perubahan nyata? Rakyat Sulawesi Tenggara butuh bukti, bukan sekadar janji.

Oleh karena itu, kami tegaskan: pemerintah daerah harus memilih, berpihak pada rakyat atau tunduk pada korporasi. Hukum di Sulawesi Tenggara tidak boleh terus-menerus menjadi alat legitimasi penindasan.

BEM Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo akan terus mengawal dan mengingatkan bahwa hukum seharusnya hadir sebagai pelindung keadilan, moralitas, dan kemanusiaan, bukan sebagai perisai kerakusan. (redaksi).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *