Abdul Bukit Jalil
Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO
Kabupaten Muna adalah daerah kepulauan yang tersebar dengan garis pantai sepanjang ± 519 km dan 181 pulau kecil, menyimpan harta karun yang tersembunyi di balik vegetasi mangrovenya.
Sejak lama, masyarakat pesisir di Kabupaten Muna telah memanfaatkan hutan mangrove untuk berbagai keperluan hidup mereka. Kisah ini menggambarkan bagaimana mangrove, yang sering kali terabaikan, memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Peranan Ekosistem Mangrove
Mangrove bukan hanya tentang pohon dan tumbuhan, tetapi juga tentang ekosistem yang kaya dengan potensi ekonomi. Berbagai hasil hutan seperti kayu bakar, bahan bangunan, dan arang, serta hasil perikanan seperti ikan, udang, kepiting, dan kerang-kerangan menjadi aset berharga bagi pembangunan ekonomi masyarakat jika dikelola dengan baik.
Namun kondisi mangrove yang rusak seperti di Desa Labone menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem tersebut terhadap aktivitas manusia. Hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem daerah pesisir yang memiliki potensi ekonomi cukup besar. Potensi tersebut merupakan aset bagi pembangunan ekonomi masyarakat di daerah apabila dikelola secara lestari.
Dua Wajah Mangrove: Wabintingi yang Berlimpah dan Labone yang Terluka
Namun, tak semua kisah mangrove di Muna semanis madu. Di Desa Wabintingi, Kecamatan Lohia, hutan mangrove bagaikan surga tersembunyi. Sungai Laano Loghia yang mengalir tenang bagaikan nadi kehidupan, menyuburkan tanah dan mendukung pertumbuhan flora dan fauna yang melimpah. Di sini, nelayan dengan mudah mendapatkan hasil tangkapan, dan para pengumpul kerang tak perlu bersusah payah mencari sumber penghidupan.
Berbeda dengan Wabintingi, Desa Labone di Kecamatan Lasalepa menyimpan luka di balik hamparan mangrove. Hutan bakau yang dulunya lebat kini tampak ringkih, didominasi oleh tumbuhan muda dan anakan. Bekas luka kerusakan terlihat jelas, menandakan eksploitasi berlebihan dan hilangnya keseimbangan alam.
Di sini, nelayan berjuang keras untuk mendapatkan hasil tangkapan yang kian menipis, dan para pengumpul kerang harus menjelajah lebih jauh untuk menemukan sumber penghidupan.
Nilai Ekonomi Hutan Mangrove
Ketika kita membandingkan dua desa ini, nilai produktivitas ekosistem mangrove di Desa Wabintingi mencapai Rp. 75.887.888/hektar/tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Labone yang hanya mencapai Rp. 750.354/hektar/tahun. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi vegetasi yang masih alami di Desa Wabintingi.
Sementara di Desa Labone, kerusakan mangrove telah mengurangi produktivitasnya secara drastis. Luas hutan mangrove di Desa Wabintingi yang hanya 10 hektar dibandingkan dengan 270 hektar di Desa Labone, menunjukkan bahwa kondisi alami dan terjaga lebih penting dari pada luas area semata dalam menentukan produktivitas ekosistem mangrove.
Manfaat Ekosistem Mangrove
Pemanfaatan ekosistem mangrove di dua desa ini dapat dibagi menjadi empat kategori: manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan, dan manfaat keberadaan. Desa Labone dikenal sebagai pemasok kerang jenis kerang lumpur (ghiwo), yang merupakan salah satu manfaat langsung yang intensif dilakukan oleh masyarakat setempat.
Tapi, akibat kerusakan hutan, banyak nelayan di Desa Labone beralih profesi menjadi petani atau pekerjaan lain karena hasil tangkapan ikan yang semakin sulit didapat. Jumlah nelayan yang aktif menangkap ikan terus berkurang, dari 71 orang menjadi hanya 4 Kepala Keluarga, menandakan betapa sulitnya kondisi disana.

Dampak Aktivitas Manusia
Tekanan dari aktivitas manusia menyebabkan vegetasi hutan mangrove mengalami kerusakan yang signifikan. Di Desa Labone, misalnya, aktivitas seperti penambangan pasir dan pengolahan kayu bakar telah mengakibatkan hilangnya pohon-pohon bakau yang besar.
Akibatnya, masyarakat setempat kesulitan untuk mendapatkan hasil hutan dan perikanan yang sebelumnya mudah didapatkan.
Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestariannya untuk memastikan keberlanjutan manfaat yang diperoleh.
Alternatif pengelolaan dan pemanfaatan
untuk mengatasi kerusakan ini dan memaksimalkan manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove, diperlukan beberapa alternatif pengelolaan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan:
1. Rehabilitasi Mangrove dengan Partisipasi Masyarakat: Upaya rehabilitasi mangrove perlu melibatkan masyarakat setempat dengan cara memberdayakan mereka baik dari segi pengetahuan maupun ekonomi. Masyarakat perlu diberi pelatihan tentang teknik rehabilitasi mangrove dan pentingnya menjaga ekosistem ini.
Selain itu, upaya pemanfaatan sumber daya perikanan yang ramah lingkungan, seperti penerapan sistem budidaya silvofishery (wana mina), dapat dilakukan untuk mengoptimalkan nilai ekonomi pemanfaatan langsung sambil tetap menjaga kelestarian vegetasi mangrove.
2. Pembuatan Peraturan Desa: Penting untuk membuat aturan yang disusun bersama oleh instansi terkait, pemerintah desa, dan masyarakat dalam bentuk peraturan desa.
Aturan ini harus mengatur tentang pengelolaan dan pengawasan ekosistem mangrove, termasuk larangan terhadap penambangan pasir dan pengolahan kayu bakar yang merusak sumber daya alam tersebut.
Dengan adanya peraturan yang jelas dan tegas diharapkan ekosistem mangrove dapat dilindungi dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.
3. Pengembangan Potensi Wisata Alam: Potensi wisata alam di kawasan mangrove Desa Labone, seperti objek wisata alam Topa, dapat dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir.
Dengan mengoptimalkan potensi wisata ini, masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi tambahan tanpa merusak ekosistem mangrove.
Keterlibatan pemerintah daerah dalam pembangunan sarana dan prasarana penunjang objek wisata tersebut sangat dibutuhkan untuk mengoptimalkan potensi ini.

Kisah Desa Wabintingi dan Desa Labone
Kisah dua desa ini, Wabintingi dan Labone, adalah cerminan nyata dari bagaimana kondisi ekosistem mangrove mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat.
Di Desa Wabintingi, dengan vegetasi mangrove yang masih alami dan terjaga, masyarakat dapat menikmati hasil hutan dan perikanan yang melimpah.
Sebaliknya, di Desa Labone, kerusakan mangrove telah mengakibatkan kesulitan ekonomi bagi masyarakat yang sebelumnya bergantung pada ekosistem ini.
Pelajaran dari Mangrove Muna
Dari kisah ini, kita belajar bahwa pelestarian ekosistem mangrove tidak hanya penting untuk menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga untuk memastikan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir.
Keterlibatan semua pihak, mulai dari masyarakat setempat hingga pemerintah, dalam menjaga dan memanfaatkan mangrove secara bijak sangatlah penting. Dengan strategi yang tepat, mangrove dapat terus memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
Penutup
Mangrove di Kabupaten Muna adalah contoh nyata bagaimana alam dan manusia saling bergantung. Dengan pengelolaan yang bijak dan melibatkan seluruh pihak terkait, ekosistem mangrove dapat tetap lestari dan memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat.
Kisah Desa Wabintingi dan Desa Labone ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga dan melestarikan hutan mangrove sebagai aset berharga yang tidak ternilai. Dalam upaya ini, setiap langkah kecil menuju rehabilitasi dan pengelolaan yang berkelanjutan adalah investasi bagi masa depan yang lebih baik, baik bagi manusia maupun lingkungan. (M)