Kendari – Kabengga.Id ll DUA dekade lebih, Bahar Badila menyemai harapan di ladang jambu metenya di Desa Ulusawa, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan.

Setiap musim panen, ia memetik hasil dari kerja keras yang sunyi, tanpa pernah menduga bahwa suatu hari tanah itu akan menuntutnya berjuang di tempat yang sama sekali asing baginya: ruang sidang pengadilan.

Ketika pohon-pohon yang ia tanam dirusak dan lahannya diklaim oleh orang lain melalui sertifikat resmi, Bahar tidak memilih diam. Dengan langkah berat namun pasti.

Ia meninggalkan ladangnya sementara waktu, demi mencari keadilan—bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk setiap petani kecil yang tanahnya terancam oleh kekuasaan dan kelalaian birokrasi.

Sejak tahun 2001, Bahar Badila menanam dan merawat lahan ini dengan tangannya sendiri. Setiap pohon yang tumbuh di atas tanah itu adalah hasil dari tetesan keringatnya.

Di sinilah ia menyekolahkan anak-anaknya, memberi makan keluarganya, dan membangun pengharapan. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa tanah yang telah ia kelola selama puluhan tahun itu akan disengketakan, apalagi dirampas dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.

Namun awal 2024, hidup Bahar mendadak terusik. Ia mendapati aktivitas tak biasa di lahannya.

Beberapa pohon jambu mete yang ia tanam sejak muda ditebang, tanahnya mulai dipatok, dan alat berat dikerahkan untuk membuka lahan yang oleh orang lain dianggap “milik mereka”.

Lebih menyakitkan, ia tahu belakangan bahwa dua pihak telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah itu. Sertifikat itu terbit melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe Selatan.

“Saya tidak pernah tahu. Tidak pernah diberi tahu. Tanah saya tiba-tiba punya sertifikat atas nama orang lain,” ujar Bahar lirih, matanya menatap kosong ke arah pohon-pohon yang tinggal batang.

Bertahan dan Melawan

Tanah itu memang tidak pernah diberi pagar. Tapi Bahar punya SKT—Surat Keterangan Tanah—yang diterbitkan Pemerintah Desa Ulusawa sejak 2008. Dokumen itu tak pernah disengketakan siapa pun selama lebih dari 15 tahun. Ia juga punya bukti nyata: pohon-pohon jambu mete yang ditanamnya sejak 2001.

Merasa diabaikan oleh sistem, Bahar tak punya pilihan lain selain melawan. Ia menggandeng pengacara muda, Jumadan Latuhani, S.H., atau yang akrab disapa La Juma. Dengan membawa bukti fisik dan dokumen resmi, mereka melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Andoolo.

“Saat saya pelajari kasus ini, saya langsung yakin ada pelanggaran prosedur serius,” kata La Juma. “Tanah yang telah lama dikuasai Bahar, justru diterbitkan sertifikatnya kepada orang lain, tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang berbatasan langsung.”

La Juma menyebut, dalam persidangan terungkap bahwa proses pengukuran dan pengesahan batas lahan tidak melibatkan Bahar maupun pemilik lahan di sekitarnya. “Ini mencederai prinsip kehati-hatian dalam penerbitan SHM. Apalagi ini program pemerintah, seharusnya lebih ketat verifikasinya,” tambahnya.

Selama berbulan-bulan, Bahar dan La Juma bolak-balik dari Laonti ke Andoolo, menyusuri jalanan berbatu dan menantang demi satu hal: keadilan.

Putusan yang Mengembalikan Harga Diri

Perkara itu tercatat dengan nomor: 15/Pdt.G/2025/PN Adl. Setelah melalui proses yang panjang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo akhirnya membacakan putusan pada Jumat, 25 Juli 2025. Hasilnya: Bahar Badila dinyatakan sebagai pemilik sah tanah sengketa tersebut seluas 20.000 meter persegi.

Dalam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa Surat Keterangan Tanah milik Bahar sah dan memiliki kekuatan hukum, sementara dua Sertifikat Hak Milik yang dimiliki tergugat dinyatakan tidak sah. Majelis juga memerintahkan tergugat untuk mengosongkan lahan dan mengembalikannya kepada Bahar tanpa syarat apa pun.

Berikut poin-poin putusan penting dari Pengadilan Negeri Andoolo:
1. Mengabulkan gugatan Bahar Badila untuk sebagian.
2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum.
3. Menyatakan sah SKT Nomor: 140/003/DU/VI/2008 atas nama Bahar Badila.
4. Menyatakan tidak sah seluruh surat dan sertifikat yang diterbitkan di atas objek sengketa.
5. Memerintahkan tergugat mengosongkan dan menyerahkan tanah sengketa kepada penggugat.
6. Menghukum tergugat membayar biaya perkara sebesar Rp4.580.000.

Putusan itu menjadi angin segar bagi Bahar. Tapi ia tak menangis di ruang sidang. Ia hanya menunduk, memeluk map berisi dokumen putusan itu dengan erat, seolah-olah sedang memeluk kembali tanah yang telah lama ia perjuangkan.

“Alhamdulillah… keadilan itu masih ada,” katanya pelan.

Simbol Ketabahan Petani Kecil

Kemenangan Bahar bukan sekadar soal legalitas. Ini adalah soal harga diri seorang warga kecil di tengah pusaran sistem administrasi yang kerap tak berpihak. Ini adalah simbol dari keteguhan hati, dari perlawanan yang diam namun teguh, dan dari keberanian untuk berkata: “Ini tanah saya.”

La Juma berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi lembaga pertanahan agar lebih berhati-hati. “Program PTSL memang baik, tapi harus dilakukan dengan verifikasi yang adil dan transparan. Jangan sampai digunakan untuk melegalkan perampasan tanah,” ujarnya.

Sementara itu, hingga berita ini ditulis, pihak tergugat belum memberikan pernyataan resmi terkait putusan pengadilan.

Menanam Harapan Kembali

Hari ini, Bahar mulai menanam kembali pohon-pohon yang rusak. Ia tahu, butuh waktu untuk pulih. Tapi ia juga tahu, ini bukan tentang hasil panen esok hari. Ini tentang membuktikan bahwa orang biasa bisa menang, bahwa ketekunan dan kejujuran masih punya tempat dalam sistem hukum negeri ini.

“Saya tidak minta lebih. Saya cuma ingin tanah saya tetap jadi milik saya dan keluarga saya. Itu saja,” ujarnya.

Matahari mulai merendah di atas Ulusawa. Di tanah yang sempat direbut itu, Bahar kembali berjalan perlahan di antara batang-batang jambu mete yang tersisa. Di matanya tak lagi tampak kesedihan, melainkan keyakinan bahwa tak ada yang lebih berharga dari tanah yang dikerjakan dengan hati—dan diperjuangkan dengan kejujuran. (redaksi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *