OPINI
Penulis: Alfansyah, S.H
Kabupaten Muna 4 Juli 2025 memperingati hari jadinya yang ke-66. Angka yang jika diterjemahkan ke dalam umur manusia, adalah usia senja, ketika rambut telah memutih dan tubuh tak lagi sekuat dulu. Namun di balik usia yang kian menua, ada ruang refleksi yang sangat luas untuk bertanya: Apakah Muna telah mencapai cita-cita pendiriannya? Apakah rakyatnya telah merasakan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana janji kemerdekaan?
Di tengah langit Muna yang sering dihiasi mendung di bulan Juli ini, perayaan hari jadi bukan sekadar pesta dan tenda, bukan sekadar barisan ucapan selamat dan spanduk raksasa. Hari ini seharusnya menjadi ruang kontemplasi bersama. Sebab jika kita jujur dan mau membuka mata, usia 66 tahun ini bukanlah angka kemenangan, tapi pengingat bahwa banyak hal belum tuntas, bahwa tanah ini masih terluka dalam diam.
Muna dalam Bingkai Sejarah
Sebelum terbentuk secara administratif sebagai kabupaten, Muna telah memiliki peradaban panjang. Nama Muna bukan sekadar simbol administratif, tapi sebuah tapak sejarah perlawanan, kemaritiman, dan kebudayaan. Dahulu, Kerajaan Muna berdiri megah sebagai bagian dari konstelasi kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara timur. Kerajaan ini memiliki struktur kekuasaan, hukum adat, bahasa, dan sistem sosial yang berkembang jauh sebelum kolonialisme menjajah tanah-tanah timur.
Salah satu tokoh besar dari tanah Muna adalah La Ode Pandu, seorang pahlawan nasional yang turut serta dalam perjuangan melawan penjajahan. Ia adalah simbol keberanian, intelektualitas, dan militansi rakyat Muna dalam menjaga harga diri bangsanya. La Ode Pandu bukan hanya milik Muna, tapi milik Indonesia. Ia mewakili semangat yang menyala dari pulau kecil, tetapi bergema hingga ke pusat republik.
Kemudian ada nama La Ode Muhammad Idrus Kaimoeddin, Bupati Muna pertama yang menjadi jembatan antara sistem kerajaan dan sistem pemerintahan modern. Ia adalah figur transformasi, yang membawa masyarakat Muna menuju babak baru, saat kabupaten ini resmi berdiri pada 4 Juli 1959, berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959.
Tak hanya itu, banyak pejuang lokal yang tak tercatat dalam buku-buku sejarah nasional, namun namanya hidup dalam cerita rakyat dan ingatan kampung: mereka adalah guru-guru, petani, tokoh adat, dan pemuda-pemudi yang menjaga tanah ini dari kerusakan dan keterasingan.
Luka yang Masih Terbuka
66 tahun berlalu, namun tidak semua janji kemerdekaan benar-benar menyentuh tanah Muna. Wilayah ini, yang secara geografis strategis dan kaya sumber daya, masih dihantui oleh problem struktural yang kompleks.
Puluhan desa belum teraliri listrik secara stabil. Banyak daerah yang masih sulit dijangkau saat musim hujan, karena infrastruktur jalan yang rusak atau bahkan tidak ada. Pelayanan kesehatan masih menjadi masalah utama, terutama di wilayah pesisir dan kepulauan. Puskesmas kehabisan obat, tenaga medis tidak merata, dan transportasi darurat nyaris tak tersedia.
Di bidang pendidikan, banyak sekolah di daerah terpencil yang masih mengandalkan guru honorer dengan gaji di bawah standar. Akses terhadap teknologi informasi masih timpang. Padahal anak-anak Muna memiliki potensi besar, daya pikir yang cerdas, dan ketekunan luar biasa—sayangnya, sistem tidak berpihak pada mereka.
Muna dan Budaya yang Ditinggalkan
Di tengah arus modernisasi, Muna juga menghadapi tantangan besar dalam merawat identitas budaya. Generasi muda makin jauh dari bahasa daerah, dari nilai-nilai luhur adat seperti Pobende-bendea, Pomaama, dan Pobini-biniu, yang menjadi ruh hidup orang Muna.
Ritual adat seperti Karia, Pekande-kandea, dan Kasambu mulai pudar oleh beberapa pihak dan memilih budaya luar yang dianggap lebih “modern”. Padahal di dalam budaya ini terdapat nilai gotong royong, penghargaan terhadap alam, dan hubungan sosial yang kuat, hal yang jarang dijumpai dalam sistem sosial modern hari ini.
Terlalu banyak yang hilang. Terlalu banyak yang terlupakan. Dan hari jadi ini adalah waktu yang tepat untuk menoleh ke belakang, menyadari bahwa kehilangan jati diri adalah bentuk kemunduran yang paling menyakitkan.
Harapan yang Masih Menyala
Namun, meski langit tampak mendung, bukan berarti kita kehilangan cahaya sepenuhnya. Di antara gelapnya ketimpangan dan luka pembangunan, masih ada harapan yang menyala.
Harapannya Anak-anak muda Muna hari ini mulailah kembali menoleh ke tanah kelahiran. Banyak yang belajar di luar daerah, bahkan ke luar negeri, lalu pulang untuk berkontribusi.
Ada pula tokoh-tokoh perempuan Muna yang mulai tampil memimpin, baik di pemerintahan, pendidikan, hingga sektor kewirausahaan. Di tengah patriarki, ini adalah kabar baik: bahwa Muna mulai menyadari pentingnya kesetaraan dalam pembangunan.
Menatap Masa Depan: Menggali Cahaya dari Senja
Usia 66 bukanlah akhir, tapi bukan pula awal. Ia adalah masa peralihan, waktu terbaik untuk menyusun ulang langkah. Muna membutuhkan kepemimpinan yang visioner, bersih, dan berpihak pada rakyat. Bukan pemimpin yang hanya hadir saat kampanye, tapi mereka yang tahu bagaimana penderitaan di desa-desa dan pulau-pulau kecil.
Muna membutuhkan gerakan kolektif: dari tokoh adat, akademisi, birokrat, pemuda, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menggali cahaya. Cahaya itu tidak akan datang dari luar. Ia harus digali dari dalam,dari nilai, dari sejarah, dari kesadaran akan siapa kita dan untuk apa kita hidup di tanah ini.
Hari ini, kita tidak sedang memperingati usia semata. Kita sedang membuka mata: bahwa ada warisan yang belum kita lunasi, ada janji sejarah yang belum ditepati. Dirgahayu Muna bukanlah pekik kemenangan, tapi seruan perjuangan baru: untuk bangkit, untuk sadar, dan untuk merawat warisan para pendahulu.(Red).
Jika sejarah adalah cermin, maka biarlah hari jadi ke-66 ini menjadi kaca besar tempat kita melihat wajah kita sendiri. Wajah yang mungkin telah lelah, keriput, dan penuh luka. Tapi di mata kita masih ada cahaya. Dan di cahaya itu, ada harapan.
Dirgahayu Kabupaten Muna ke-66.
Di Ambang Senja, Mari Kita Gali Cahaya.
Untuk tanah yang kita cintai, dan untuk masa depan yang belum kita menangkan.
“Orang Muna tidak mati oleh zaman. Mereka hidup dalam sejarah. Dan sejarah tidak pernah berakhir—selama masih ada yang mengingat, dan ada yang memperjuangkan.”