Kendari – Alih-alih menawarkan panorama pantai yang indah dan ketenangan liburan, Wisata Pantai Toronipa kini justru ramai dibicarakan bukan karena pasir putih atau desiran ombaknya, melainkan karena aroma “pungutan liar” yang kian menyengat.
Seakan menjadi menu utama liburan, dugaan pungli di kawasan ini disoroti keras oleh Koalisi Aktivis Mahasiswa Pemuda dan Ormas Sulawesi Tenggara (Kompas Sultra), yang menyebut praktik tersebut telah berlangsung dengan pola yang “terstruktur, sistematis, dan masif.”
Andri Togala, Divisi Informasi dan Data Kompas Sultra, menyampaikan langsung pengalamannya saat berkunjung ke lokasi. Ia menyoroti pungutan sebesar Rp10.000 per kepala yang diberlakukan kepada setiap pengunjung dewasa.
Namun, hal yang menjadi ganjalan adalah, meskipun satu kendaraan memuat lima orang yang masing-masing dikenakan biaya tiket yang diberikan hanya satu lembar.
Saya heran. Kami berlima, tapi hanya satu tiket yang diberikan. Lantas, ke mana empat tiket lainnya? Apakah dicetak di awan atau sudah menguap bersama aroma dugaan pungli?” ujar Andri dengan nada penuh ironi. Minggu (8/6)
Menurutnya, kejadian ini tidak bisa dianggap sepele. Justru, ia menduga kuat adanya semacam pembiaran dari pihak terkait terutama Dinas Pariwisata Kabupaten Konawe.
“Seolah-olah ini sudah jadi budaya. Jika tidak ada konspirasi, mengapa tidak ada penertiban? Jangan sampai ini menjadi cara halus mengelabui potensi pendapatan asli daerah,” sambungnya.
Hal serupa dialami oleh Sigit Lamoito, anggota Kompas lainnya. Saat berkunjung bersama keluarga, ia memilih untuk tidak menyewa gazebo atau kasebo yang disediakan pengelola. Mereka hanya duduk santai di atas pasir, seperti lazimnya wisata pantai. Namun yang terjadi justru ironis tetap dikenai pungutan, lengkap dengan tiket “seadanya.”
“Ini sudah bukan lagi pantai yang menyuguhkan pemandangan, tapi lebih kepada arena pungutan liar yang penuh kejutan. Duduk di pasir pun harus bayar, barangkali pasirnya sudah disertifikasi?” ungkapnya dengan nada sarkastik.
Tak hanya itu, harga penyewaan kasebo pun disebut tidak masuk akal. Perbedaan harga antara hari biasa dan hari libur begitu signifikan, tanpa adanya standar atau pengawasan. Pengelola dianggap seenaknya menaikkan harga sesuai tingkat keramaian.
“Kalau ramai, harga melonjak. Kalau sepi, mungkin masih bisa nego. Tapi ini kan bukan pasar loak, ini tempat wisata. Kalau begini terus, bukan kenyamanan yang disuguhkan, melainkan kecurigaan,” keluh seorang pengunjung lainnya.
Melihat maraknya keluhan dari masyarakat dan dugaan adanya praktik pungli yang membabi buta, Kompas Sultra menegaskan akan segera menyambangi Dinas Pariwisata Kabupaten Konawe. Mereka menuntut evaluasi menyeluruh terhadap sistem tarif masuk dan pengelolaan tempat wisata.
“Ini bukan semata soal uang sepuluh ribu atau harga kasebo, tapi soal integritas pelayanan publik dan citra daerah. Jika terus dibiarkan, bukan hanya wisatawan yang akan pergi, tapi juga kepercayaan publik terhadap pemerintahan Yusran Akbar–Syamsul Ibrahim yang baru dilantik,” tegas Andri.
Ia menambahkan, mayoritas pengunjung pantai di Sulawesi Tenggara berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, bukan wisatawan mancanegara atau tamu dari luar provinsi yang datang dengan dompet tebal. Maka, sudah sepantasnya pemerintah hadir dan bertindak sebelum masyarakat jengah dan kepercayaan publik hilang.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Dinas Pariwisata Kabupaten Konawe belum dapat dikonfirmasi. Demikian pula dengan pihak pengelola Pantai Toronipa, yang tampaknya masih memilih diam. Namun, redaksi Media ini tetap membuka ruang hak jawab bagi semua pihak. (redaksi)