Foto.Adam Tri Saputra

Adam Tri Saputra -Mahasiswa_

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Inasonal Indonesia pada 26 Maret. Kendati disahkan dengan dalih menghadapi ancaman siber dan geopolitik global, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tersebut justru menuai sorotan tajam dari sejumlah kalangan sipil. Di tengah euforia pembaruan strategi pertahanan nasional, muncul kekhawatiran mendalam bahwa UU ini menjadi pintu masuk bagi kembalinya dwifungsi militer ke dalam urusan pemerintahan sipilfenomena yang selama ini coba dihapus sejak reformasi 1998.

Adam Tri Saputra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, menilai langkah pemerintah dan DPR mengesahkan UU TNI yang baru sebagai bentuk kemunduran demokrasi. Menurutnya, substansi pasal-pasal dalam UU tersebut membuka ruang luas bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil di sejumlah institusi negara, tanpa syarat pengunduran diri atau pensiun. “Situasi ini sangat berisiko mencederai prinsip supremasi sipil. Padahal, prinsip itu adalah roh utama dalam sistem negara demokrasi,” jelas Adam dalam kajian socio-legal yang ia susun.

Kontroversi semakin menguat karena proses pengesahan UU tersebut dilakukan secara cepat, dengan minim partisipasi publik. Koalisi Masyarakat Sipil dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) telah menyampaikan penolakan tegas. Mereka menilai UU ini bukan hanya melanggar semangat reformasi, tapi juga menyempitkan ruang sipil yang selama ini diperjuangkan dengan susah payah sejak tumbangnya Orde Baru.

“UU ini bisa menjadi alat baru bagi militer untuk kembali menancapkan kuku di ranah sipil dengan legitimasi hukum,” ujar perwakilan YLBHI dalam pernyataan tertulis. Mereka juga menyoroti bahwa revisi ini bertentangan dengan prinsip profesionalisme militer yang seharusnya terbatas pada urusan pertahanan negara, bukan birokrasi sipil.

Pasal 47 ayat (1) menjadi sorotan utama karena secara eksplisit menyebutkan daftar kementerian dan lembaga sipil yang dapat ditempati oleh prajurit TNI aktif, termasuk di antaranya Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Badan Narkotika Nasional, hingga lembaga penanggulangan bencana dan keamanan laut. “Implikasi jangka panjangnya sangat berbahaya bagi demokrasi,” kata Adam.

Ia mengutip teori Harold D. Lasswell tentang garrison state, di mana kekuasaan negara pada akhirnya dikendalikan oleh logika dan kepentingan militer. Ketika institusi sipil mulai diisi oleh figur-figur militer aktif, maka keputusan kebijakan tidak lagi bersumber dari aspirasi rakyat, melainkan dari kalkulasi keamanan yang cenderung tertutup dan sulit diawasi.

Lebih jauh, dari kacamata sosiologi hukum, regulasi ini dinilai berpotensi membentuk ketimpangan struktur sosial antara sipil dan militer. Adam menekankan bahwa hukum seharusnya menjadi alat perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadaban. “Kalau hukum justru menjadi kendaraan untuk memperluas dominasi militer, maka fungsinya sebagai alat transformasi sosial telah gagal total,” pungkasnya.

Kekhawatiran publik terhadap UU TNI terbaru ini tidak hanya menyangkut soal legalitas, tapi juga menyangkut masa depan tata kelola demokrasi Indonesia. Banyak pihak kini menyerukan agar UU ini dievaluasi secara menyeluruh dengan pendekatan yang inklusif dan partisipatif. Supremasi sipil, sebagai fondasi demokrasi, kini tengah diuji kembali dalam bayang-bayang militerisme gaya baru. (end)

Sebagai informasi, tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel ilmiah yang disusun oleh Adam Tri Saputra (penulis) bejudul “Supremasi Sipil Dalam Bayang-Bayang UU TNI Yang Baru: Sebuah Tinjauan Socio-Legal Studies.(Redaksi).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *