Oleh: Muh. Bissabir
Mantan Ketua BEM Fakultas Hukum, Putra Muna Barat
Sebagai anak yang lahir dan menghirup udara pertama kali di Desa Wakontu, Kec. Wadaga, Muna Barat, saya paham betul bagaimana rasanya hidup di daerah yang infrastrukturnya tertinggal. Jalan berlubang, listrik yang kerap padam, dan akses kesehatan yang minim adalah pemandangan sehari-hari. Karena itu, ketika Pemkab Muna Barat mengajukan pinjaman Rp150 miliar ke Bank BPD Sultra, saya memilih untuk tidak serta-merta menyalahkan, tetapi melihatnya sebagai ujian atas komitmen kita bersama : apakah kita berani mengambil langkah progresif untuk masa depan, atau tetap terjebak dalam status quo yang membelenggu?
Pertama, mari kita jernihkan persepsi: pinjaman daerah bukanlah dosa. Dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Keuangan Daerah, pinjaman diizinkan asal digunakan untuk proyek produktif. Dana ini akan membiayai tiga hal krusial: pertama, pembangunan gedung perkantoran yang selama ini memakan anggaran sewa Rp1,2 miliar/tahun. kedua, perbaikan jalan poros Wakarombo-Lakalato yang menjadi nadi ekonomi petani, dan ketiga, pendirian technopark untuk melatih pemuda menguasai teknologi pertanian dan maritim. Ketiganya adalah investasi, bukan pemborosan.
Tapi, mengapa harus pinjam? Data BPS 2023 menunjukkan PAD Muna Barat hanya Rp98 miliar, sementara belanja pegawai di APBD 2024 mencapai Rp300 miliar. Mustahil membangun dengan mengandalkan APBD. Menunggu bantuan pusat? Pengalaman membuktikan bahwa dana desa atau transfer pusat seringkali tak cukup dan lambat. Pinjaman ini adalah solusi realistis untuk melompati ketertinggalan, sebagaimana dilakukan Kabupaten Bantaeng (Sulsel) yang sukses mentransformasi diri dari daerah tertinggal menjadi mandiri.
Namun, sebagai calon sarjana hukum, saya tak menutup mata pada risiko. Pinjaman bisa menjadi bom waktu jika dikelola tanpa transparansi. Di sinilah peran kita sebagai masyarakat: mengawal, bukan hanya mengkritik. Saya mendesak Pemkab segera memublikasikan dokumen perjanjian pinjaman, RAB proyek, dan laporan realisasi dana melalui SIPD. Saya juga mengajak pemuda Muna Barat di Kendari membentuk Tim pengawas untuk memastikan setiap rupiah digunakan tepat sasaran.
Kepada saudara-saudara saya di Muna Barat, izinkan saya berpesan: jangan biarkan ketakutan pada utang membuat kita lumpuh. Tapi jangan pula terjebak euforia tanpa kritisisme. Pinjaman ini ibarat pisau bermata dua: bisa menjadi alat tebas kebodohan, atau justru melukai diri sendiri. Pilihannya ada di tangan kita.
Saya, yang kini tinggal di Kendari namun tak pernah lupa pada bau tanah dan udara segar Muna Barat, akan terus berdiri di garda terdepan: mendorong pembangunan, tapi juga mengawasi dengan ketat. Karena saya yakin, Muna Barat layak untuk tidak sekadar bertahan, tetapi melesat