Bombana – Kabengga.id (20 Oktober 2025) ll
Pertemuan antara Aliansi Masyarakat Moronene dan tokoh-tokoh Moronene Kabaena bersama Wakil Bupati Bombana kembali menegaskan bahwa motif Rapa Dara tidak memiliki dasar historis maupun legitimasi budaya untuk disebut sebagai motif khas Kabupaten Bombana. Pertemuan yang berlangsung di tengah meningkatnya polemik budaya ini menjadi momentum penting dalam perjuangan mempertahankan marwah adat Moronene.

Dalam pertemuan itu, Wakil Bupati Bombana menyampaikan bahwa pemerintah daerah akan segera menertibkan seluruh penggunaan motif Rapa Dara di lingkungan pemerintahan dan tidak akan memproses Peraturan Daerah (Perda) terkait motif tersebut tanpa adanya pertemuan tiga pilar Kerajaan Moronene: Rumbia, Polea, dan Tokotu’a.

“Pemerintah memahami keresahan masyarakat adat. Kami berkomitmen untuk menertibkan seluruh motif Rapa Dara yang telah terpasang dan memastikan tidak ada pembahasan Perda sebelum kesepakatan tiga pilar tercapai,” ujar Wakil Bupati.

Pernyataan ini disambut dengan tanggapan tegas dari sejumlah tokoh Moronene.
Ali Kamri menyebut bahwa kemunculan Rapa Dara adalah bukti cacat berpikir dan lemahnya etika budaya, karena tidak pernah diseminarkan, tidak melalui kajian budaya, namun langsung didaftarkan HAKI dan bahkan dijadikan ornamen resmi tanpa dasar hukum daerah.

“Rapa Dara itu cacat berpikir. Tidak lahir dari musyawarah adat, tidak dikaji, tapi tiba-tiba dijadikan simbol khas. Ini bentuk pelecehan terhadap proses kebudayaan,” tegas Ali Kamri.

Sementara itu, Hamdan, Ketua HIPPAMMOR, menyoroti tindakan Lurah Doule yang mengganti motif Burisininta, simbol asli Moronene, dengan Rapa Dara di gerbang perbatasan. Ia menilai tindakan tersebut sebagai bentuk ketidakhormatan terhadap budaya lokal.

“Lurah Doule telah mengganti motif adat dengan seni kontemporer tanpa izin. Sampai hari ini, ia belum pernah mengklarifikasi tindakannya, padahal tindakannya itu yang memicu keributan besar pada 6 Oktober. Kami minta lurah Doule segera dicopot karena tidak bisa menghargai budaya daerah tempat ia bertugas,” tegasnya.

Ramsi Salo, Penanggung Jawab, menambahkan bahwa sikap masyarakat Moronene sudah jelas: tidak boleh ada Rapa Dara di Bombana dalam bentuk apapun.

“Kalau kita biarkan, nanti siapa pun bisa seenaknya menciptakan simbol budaya baru tanpa akar sejarah. Kita harus menjaga agar adat tidak dicampuradukkan dengan kepentingan pribadi,” ujar Ramsi.

Sementara itu, Rezkhy Okriansyah Pratama, Ketua Umum Organisasi Indonesia Moronene, menegaskan bahwa perjuangan menolak Rapa Dara bukan sekadar penolakan terhadap motif, melainkan benteng terakhir untuk menjaga eksistensi seni dan budaya dari tangan-tangan yang mencoba mereduksinya untuk kepentingan politik atau personal.

“Kalau Rapa Dara ini kita biarkan kemarin dan tidak ada yang protes, maka bisa diyakini bahwa seluruh seni dan budaya bisa diubah oleh seseorang secara perlahan-lahan. Ini bukan sekadar simbol, tapi marwah budaya yang harus dijaga,” ujarnya tegas.

Sebelumnya, Rezkhy juga menilai bahwa tindakan pemerintah daerah yang masih menggunakan motif Rapa Dara setelah Bupati Bombana, Ir. H. Burhanuddin, M.Si menandatangani Surat Pernyataan Sikap pada 6 Oktober 2025, adalah bentuk pembohongan publik besar.

“Kalau tanda tangan dan stempel bupati saja tidak dipegang, lalu apa artinya pemerintah ini?” katanya.

Dari sisi pengawasan gerakan, Rizky Mappatarani dan Abdul Rahman mengingatkan bahwa langkah pemerintah daerah untuk menertibkan penggunaan motif Rapa Dara tetap harus diawasi secara ketat agar tidak dijadikan ajang pencitraan politik oleh pihak tertentu.

“Tindak lanjut Pemda terhadap polemik Rapa Dara ini harus terus dikawal. Jangan sampai ada orang yang memanfaatkan situasi ini untuk mencari muka atau menggunakannya demi kepentingan pribadi. Perjuangan ini harus tetap murni untuk budaya dan masyarakat Moronene,” tegas Rizky Mappatarani yang diamini oleh Abdul Rahman.

Aliansi Masyarakat Moronene menyambut baik komitmen Wakil Bupati, namun menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal hasil kesepakatan tersebut hingga benar-benar terealisasi. Mereka menilai langkah ini sebagai awal rekonsiliasi antara masyarakat adat dan pemerintah daerah, namun sekaligus peringatan keras agar budaya tidak dijadikan alat politik sesaat.(redaksi).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *