Kendari – Ketua Bidang Pencegahan dan Monitoring Laskar Anti Korupsi (Sultra), sekaligus pengamat ekonomi dan keuangan negara/daerah, Nizar Fachry Adam, S.E., M.E., menemukan adanya 267.368 perusahaan yang tidak teridentifikasi dalam sistem Online Single Submission (OSS).
Perusahaan yang berstatus mikro, kecil, menengah, hingga besar ini semestinya tercatat dalam OSS sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2023 tentang Perizinan Berbasis Risiko dan PP No. 5 Tahun 2021 tentang Izin Usaha Berbasis Risiko. Namun, fakta di lapangan menunjukkan banyak izin teknis tidak tersinkronisasi, sehingga OSS tidak dapat menerbitkan izin operasional yang sah.
“Ketidakcocokan izin membuat banyak perusahaan tidak tercatat di OSS. Ini berpotensi menghilangkan penerimaan negara dan daerah,” ujar Nizar dalam investigasinya.
Data Tidak Sinkron
Menurut data Kementerian ESDM, Pertanian, dan Industri, jumlah investasi yang masuk tidak sebanding dengan perusahaan yang terdaftar di OSS. Sebagai contoh, izin usaha skala besar hanya tercatat 26.588 unit, padahal data perusahaan besar di sektor energi dan perkebunan jauh lebih tinggi.
Kondisi ini membuka peluang bagi perusahaan untuk menghindari kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pajak pusat, maupun pajak daerah.
Potensi Kebocoran
Dalam Laporan Keuangan Ketenagakerjaan Tahun 2022, tercatat pendapatan dari penegakan hukum dan administrasi sebesar Rp1,82 triliun. Dari jumlah itu, Rp1,81 triliun berasal dari PNBP tenaga kerja asing, sementara penerimaan dari pengujian, sertifikasi, dan standarisasi hanya Rp8,1 miliar.
Nizar menilai angka tersebut tidak mencerminkan potensi sebenarnya, mengingat banyak perusahaan luput dari kewajiban.
Indikasi yang Terungkap
- Data antar kementerian tidak sinkron, menghambat optimalisasi penerimaan negara.
- Ratusan ribu perusahaan tidak teridentifikasi, membuat penerimaan negara dan daerah berkurang.
- Diduga ada manipulasi izin usaha, sehingga perusahaan bisa beroperasi tanpa lisensi resmi di OSS.
– Temuan ini menegaskan perlunya evaluasi serius terhadap OSS dan pengawasan lintas kementerian untuk menutup celah kebocoran penerimaan negara.