Penulis: Alfansyah (Eks Menteri Advokasi dan Pergerakan BEM Universitas Halu Oleo)

Masih hangat di pikiran kita tentang video viral beberapa waktu lalu yang menampilkan seorang wanita berinisial “DG” mengucapkan kalimat yang oleh beberapa pihak ditafsirkan sebagai bentuk penghinaan dan/atau pencemaran nama baik terhadap golongan. Tidak hanya masyarakat awam, hal tersebut juga ditanggapi oleh Anggota DPD RI asal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara dan Advokat Muda setempat yang menilai tindakan DG melanggar ketentuan Pasal 156 KUHP dan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

Sebagai masyarakat yang hidup dalam negara yang menjunjung tinggi hukum dan kebebasan menyampaikan pendapat sebagai bagian dari hak konstitusional warga negar, sah-sah saja jika ada beberapa pihak yang berpendapat demikian. Namun perlu dipahami secara komprehensif-holistik berkaitan dengan tindakan DG tersebut. Apakah benar ucapan yang disampaikan dalam konteks becanda dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan bisa diproses secara hukum dengan dalih melanggar ketentuan UU ITE ? Mari membaca dan pahami bersama.

Secara teoretik-konseptual, penghinaan diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Dalam konteks pencemaran nama baik, hal ini biasanya dikaitkan dengan tindakan yang dilakukan secara sengaja agar diketahui umum sebagaimana ketentuan Pasal 156 KUHP. Lebih lanjut secara normatif-yuridis, Pasal 319 KUHP mengkualifikasi penghinaan atau pencemaran nama bentuk dalam dua bentuk, yakni tindakan menyamakan seseorang dengan binatang (menista) dan tindakan menyatakan seseorang melakukan suatu kejahatan padahal orang tersebut tidak melakukannya (memfitnah).

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.225) menjelaskan definisi menghina sebagai perbuatan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Jika direlasikan dengan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU UU ITE, tindakan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang tersebut berkaitan dengan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, dan disabilitas fisik. Pun juga jika perbuatan ditujukan terhadap golongan/sekelompok orang.

Berkenaan dengan kalimat “orang raha saja mengakui kalau orang raha itu jelek-jelek” yang diucapkan oleh DG pada sebuah live streaming tiktok, kalimat tersebut merupakan tanggapan yang ditujukan kepada teman diskusinya. Konteksnya bercanda dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat dan nama baik seseorang/sekelompok orang.

Jika DG dikatakan melanggar ketentuan Pasal 156 KUHP karena telah melakukan penghinaan, jelas bahwa penilaian ini tidaklah benar. Pasalnya, ketentuan dimaksud mensyaratkan delik “menyatakan perasaan permusuhan dan kebencian terhadap suatu atau beberapa golongan”.

Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana jika dinyatakan melanggar Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal ,45A ayat (2) UU ITE? Ini makin ngawur, sebab pasal diatas telah menyebutkan secara expressive verbis apa yang dimaksud dengan penghinaan; yaitu tindakan menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan kebencian dan permusuhan terhadap individu/kelompok berdasarkan rasa, kebangsaan, etnis, warna kulit dan seterusnya.

Pertanyaannya, apakah ucapan DG dapat dikualifikasikan memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ketentuan diatas? Iya, jika pasal a quo ditafsirkan secara dangkal dan asal-asalan. Perlu diketahui, bahwa karakteristik hukum pidana itu rigid sebab menjunjung tinggi aspek kepastian hukum. Interpretasi yang dilakukan harus secara lex stricta agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam proses pemaknaan.

Seandainya tindakan DG di uji degan Pasal 319 KUHP yang secara spesifik mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, proses hukumnya ribet dan berpotensi merugikan salah satu pihak. Disisi lain, Pasal 319 KUHP adalah delik aduan yang menegaskan bahwa dugaan terhadap tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik tidak dapat diproses secara hukum apabila tidak ada aduan langsung dari orang yang menyatakan dirinya sebagai korban. Pertanyaannya, siapa subjek hukum yang menjadi korban dari ucapan DG?, Apa dasarnya dan mampukah dibuktikan?

Terakhir, ucapan permohonan maaf yang dibuat dan dipublikasikan di media sosial oleh DG merupakan bentuk itikad baik atas perbuatan a-sosial yang dilakukannya. Tidak perlu diperpanjang hingga digiring ke proses hukum segala. Jangan hanya karena kata “jelek” yang ditafsirkan secara serampangan oleh beberapa pihak membuat seseorang mengalami tekanan psikis sebab menghadapi gorengan isu penghinaan. Apalagi dengan dasar melanggar ketentuan hukum yang tidak dipahami secara fundamental dan menyeluruh. (Kabengga id).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *