.
Kevin Diks berdiri di titik putih lapangan hijau Stadion Allianz, Sidney. Bola di hadapannya, dan harapan sebuah bangsa berada di kakinya. Sejenak dia menghela nafas panjang kemudian memandang ke wasit. Satu tendangan penalti yang, dalam skenario terbaik, bisa meneguhkan dirinya sebagai pahlawan baru bagi Timnas Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia Asia melawan Timnas Australia.
Namun, sejarah memilih jalannya sendiri. Bola melesat, namun tak pernah bersarang di jala Australia. Menghantam tiang gawang. Sejurus kemudian, stadion dipenuhi dengan erangan kecewa yang membahana. Diks, bek tangguh FC Copenhagen yang digadang-gadang bakal menjadi bagian dari skuat Garuda, hanya bisa menundukkan kepala.
Antara Eropa dan Nusantara
Kevin Diks lahir di Belanda, tumbuh dengan filosofi sepak bola yang jauh berbeda dari atmosfer sepak bola Indonesia. Berposisi sebagai bek kanan, ia menempa dirinya di akademi Vitesse Arnhem sebelum akhirnya berkelana ke klub-klub besar seperti Fiorentina dan FC Copenhagen. Dengan gaya permainan yang lugas dan fisik yang mumpuni, Diks menjadi aset berharga di lini pertahanan.
Namun, sepak bola bukan sekadar soal teknik atau strategi. Ada hal-hal yang tak kasatmata: tekanan, ekspektasi, dan tentu saja, adaptasi terhadap atmosfer yang berbeda. Memilih membela Indonesia—tanah leluhurnya—bukan sekadar soal paspor, melainkan perjalanan panjang menemukan identitas baru di lapangan yang jauh dari kampung halamannya.(**)