Kendari/Kabengga.Id – Dalam upaya menjaga stabilitas dan kesatuan bangsa, berbagai kalangan masyarakat, termasuk pemerintah dan tokoh-tokoh politik, kembali menegaskan pentingnya menghindari penyebaran isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dalam dunia politik. Penyebaran isu-isu sensitif seperti ini tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tetapi juga berpotensi menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Kampanye pilkada yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan program kerja. Namun, sering kali disusupi dengan isu-isu SARA yang digunakan sebagai alat politik untuk meraih dukungan. Hal ini sangat disayangkan karena tidak hanya mengaburkan esensi dari demokrasi itu sendiri, tetapi juga menciptakan ketegangan yang tidak perlu di tengah masyarakat.
Dikutip dalam acara Diskusi Publik LPI Jakarka, pada 30 Agustus 2024 dengan mengusung tema “Kondusifitas Pilkada Serentak dan Arah Baru Demokrasi”, Wakil Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), Ali Ramadhan menyatakan bahwa kondusifitas itu tergantung kepada sejauh mana seluruh pihak tetap berkomitmen menjaga seluruh proses tahapan pilkada ini tetap berlangsung kondusif.
“Yang kami khawatirkan dalam setiap laga elektoral ini, baik lingkup nasional maupun lokal adalah gesekan atau konflik sosial antar kelompok masyarakat atau akar rumput. Ya meski disejumlah daerah, laga elektoral ini berlangsung kompetitif namun kami memproyeksikan pilkada serentak 2024 akan berlangsung kondusif. Memang, ada sejumlah celah rawan dalam penyelenggaraan pilkada seperti isu SARA, money politik, independensi dan integritas penyelenggara, moral hazard peserta (baik calon maupun partai pengusung) tetapi sejauh ini relatif masih kondusif dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk memantau seluruh proses, tahapan dan mekanisme”, ujarnya.
Lanjut, Direktur Politik Hankam dari BRIN, Muhammad Nurhasim yang juga hadir dalam diskusi, menyoroti praktik oligarki akan meluas ke laga elektoral pilkada.
“Terlebih paska Putusan MK, 20 Agustus 2024 banyak elit dikejutkan oleh Keputusan MK tersebut. Lalu, berlomba-lomba dengan waktu tahapan pilkada yang sempit, para oligarki saling bermanuver dalam proses kandidasi pencalonan kepada daerah. Pertanyaannya, apakah para kandidat yang diputuskan oleh elit partai nasional itu programnya jelas, narasinya rasional dan seterusnya”, terangnya.
Kesempatan yang sama, Pakar Kebijakan Publik, Asep Kusnanto menambahkan bahwa peran oligarki dalam kontestasi pilkada serentak akan berupaya untuk memperluas jangkauan monopoli seluruh sumber daya dari nasinal sampai ke daerah. Menurutnya, bila ingin memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia, maka perbaiki dulu kualitas demokrasi diinternal partai politik.
“Kita tidak bisa menyalahkan mereka (oligarki). Sebab, kaum oligarki by nature, sudah teramat kuat. Nah, bila ingin memperbaiki kualitas demokrasi, maka partai politik harus banyak berbenah dan solusinya adalah partai harus diaudit, apakah sudah demokratis atau belum”, tegasnya
Masyarakat pun diimbau untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi yang beredar, terutama menjelang pilkada. Dengan semakin maraknya penggunaan media sosial, masyarakat harus lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh berita atau informasi yang tidak jelas sumbernya.
Upaya untuk menghentikan penyebaran isu SARA dalam politik bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua elemen masyarakat. Bersama-sama, kita harus berkomitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan yang ada, demi Indonesia yang lebih baik. (M)